Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jumat, 09 Agu 2019, 01:00 WIB

Mengembangkan Potensi Otak Vertikal

Foto: Istimewa

Judul : Vertikalitas Otak dan Peringkat Humanitas Manusia
Penulis : Porat Antonius
Penerbit : Gramedia
Cetakan : Desember 2018
Tebal : xxiii + 247 halaman
ISBN : 978-602- 03-8708-6

Dalam premis evolusi diketahui, mulanya manusia sama dengan hewan mamalia yang mengandalkan sistem limbik sebagai kekuatan kecerdasan. Kemudian, manusia mengalami evolusi menjadi homo sapiens. Manusia mengalami satu tahap evolusi kognitif yang tidak terjadi pada mamalia. Sekarang, manusia mengalami puncak sebagai homo sapiens dengan segala prestasinya.

Namun, di balik prestasi hidup yang menggembirakan, manusia juga masih mengalami gejala hidup seperti penyakit kecemasan eksistensial. Dari sudut pandang konstruksi otak, sikap hidup manusia sebagai homo sapiens kontra produktif karena tidak mengisi kebutuhan salah satu bagian penting otaknya dengan kecerdasan spiritual.

Buku enam bab ini memuat dua pembahasan besar tentang peringkat humanitas manusia dan vertikalitas otak. Pada pembahasan pertama diuraikan bahwa manusia memiliki kemampuan memahami yang bersifat horizontal, di antaranya relasi dengan diri sendiri, sesama, dan alam semesta baik biotik maupun abiotik dengan segala potensi kecerdasan otaknya (hlm xviii).

Sedangkan pembahasan kedua menjelaskan, otak manusia juga dapat dikembangkan untuk memahami aspek vertikal, yaitu Tuhan Yang Mahakuasa. Buku ini tidak menempatkan pengalaman akan Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat emosional semata, melainkan didasarkan pada neurologis otak manusia. Artinya, ketika manusia mengembangkan kecerdasan otak, tidak hanya berfungsi untuk memecahkan masalah-masalah fisik, namun juga dapat menjangkau yang metafisis.

Syarat untuk mencapai pengalaman metafisis mengembangkan kecerdasan beriman yang secara neurologis berbasis pada otak yang sama dengan beragam potensi kecerdasan otak lainnya. Peringkat humanitas manusia belum mencapai titik kesempurnaan ketika sanggup memecahkan beragam persoalan alam, diri sendiri, atau sesama. Kesempurnaannya, justru diperoleh ketika dapat berjumpa dengan Tuhan, berdialog, mendengar, memahami, serta melaksanakan kehendak-Nya (hlm 179).

Semua agama mendeskripsikan sifat-sifat Tuhan sebagai Pribadi yang menghormati, memelihara, bertanggung jawab, penuh perhatian, bertindak adil, dan sangat menyayangi manusia. Manusia mencapai puncak humanitasnya jika tindakannya terhadap diri, sesama, dan alam telah mencerminkan sifat-sifat Tuhan tersebut.

Otak setiap manusia memiliki potensi mencapai puncak humanitas. Namun, mengapa Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman, misalnya, atau Stepen Hawking, Fisikawan Inggris yang terkemuka, tidak percaya Tuhan sehingga keduanya otomatis gagal mengalami pengalaman metafisis?

Mencapai puncak humanitas atau homo deus merupakan potensi yang inheren dalam diri manusia. Hanya, pada sisi lain, menjadi homo deus juga bergantung mula-mula pada proses sosialisasi. Kemudian bergantung pada kehendak manusia itu sendiri untuk menjadi homo deus atau cukup sampai pada homo sapiens. Menurut analisis buku ini, Stepen Hawking dan Friedrich Nietzsche memilih tinggal sebagai homo sapiens. Keduanya tidak hendak bergerak naik dengan mengembangkan kecerdasan beriman.

Menjadi homo deus sebenarnya mengarahkan manusia untuk hidup damai di dunia selama masih bisa bernapas dan hidup damai di akhirat, minimal tenang menghadapi kematian. Dengan mengaktifkan kecerdasan beriman, manusia menciptakan dunia yang dapat menampakkan wajah Tuhan itu sendiri. Yaitu sebuah wajah yang selalu mengundang untuk bertindak adil, saling menghormati, memelihara, dan saling bertanggung jawab (hlm 225).

Buku ini menjadi sebuah ajakan yang ditulis dengan dedikasi sangat tinggi bagi para pembaca untuk hadir dan hidup dengan keyakinan yang dapat mengubah struktur mental internal maupun sosial eksternal ke arah lebih baik. Diresensi Redy Ismanto, Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Khoirunnisa, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wahyu Winoto, Wawan, Zaky

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.