Jumat, 31 Jan 2025, 14:40 WIB

Mengapa Pemulung Makin Miskin?

Seorang pemulung di tempat pembuangan akhir.

Foto: Koran Jakarta/KPNas

Oleh Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) dan

Pembangunan di berbagai sektor semakin maju dan modern. Gaya hidup kekotaan dan kebarat-baratan semakin menonjol. Orang kaya dan kelas menengah dengan pendapatan ratusan juta hingga miliaran rupiah setiap bulan. Kekayaan mereka semakin bertambah.

Bagaimana dengan orang miskin? Pemulung miskin hidupnya stagnan dan marginal. Kue pembangunan yang ditunggu-tunggu tidak menetes, kecuali pembagian sembako.

Kondisi pemulung miskin. Benar sekali miskin. Bisa diteliti dengan prosedur ilmiah. Fakta-fakta itu yang bicara. Bahwa kemiskinan itu sebagai deskripsi kemiskinan struktural dan ada eksploitasi oleh yang kuat terhadap yang lemah.

Dulu, tahun 1980-an pemulung disebut gepeng, gelandangan dan pengemis. Hidupnya dikejar-kejar petugas Tantrib/Kamtib ketika di pembuangan sampah Cakung Cilincing. Tempatnya dari bekas keranjang ayam di pinggir sampah.

Lalu, di zaman Orde Baru diberi gelasr"Laskar Mandiri". Setelah itu tidak dikejar-kejar-kejar, tapi niatnya dikumpulkan akan ditransmigrasikan.Pemulung tidak mau dengan program tersebut. Mereka tetap mengais sampah. Hidupnya tetap miskin.

Napas kehidupan terus berjalan, namanya tetap pemulung. Sebagian besar pindah karena pengoperasian TPA Bantargebang tahun 1989-an. Pemulung terus mengais sampah. Mereka membuat gubuk, semakin banyak gubuk.

Tahun 2000-an mengais sampah, seperti mendapat "emas hitam" karena harganya bagus dan stabil. Income-nya bagus. Sejak 2019/2020 harga hasil pungutan sampah turun draktis terus-menerus. Penurunan harga itu 50-60 persen.

Dampaknya penghasilan pemulung menurun dan daya beli juga turun. Kondisi memprihatinkan juga dialami pelapak kecil dan menengah. Akibat penghasil turun, modal tergerus dan beberapa anak buah lari pindah bos.

Kondisi buruknya harga sampah pungutan pemulung di kawasan TPST Bantargebang sekarang dan sudah berlangsung lebih tiga tahun. Misal, harga sampah campuran Rp 700-800/kg sekarang, dulu mencapai Rp 1.400/kg. Harga mainan Rp 3.200/kg, dulu harga bagus mencapai Rp 4.800/kg, harga Naso Rp 4.500/kg, dulu Rp 5.500/kg, harga emberan Rp 1.700, dulu mencapai Rp 2.500/kg, harga Himpek Rp 700, dulu saat harga bagus Rp 1.700/kg, harga paralon/PVC Rp 1.500/kg, dulu Rp 2.500/kg.

Harga sampah pungutan yang bagus dan cukup stabil dari dulu adalah PET, pemulung menyebut botol aqua bodong, dan plastik LD. Harga PET Rp 7.700 sampai 8.000/kg, dan harga LD Rp 7.000 sampai Rp 8.000/kg.

Pemulung kalau tanya pada bosnya, kenapa harga sampah terus turun harganya? Demikian pula pelapak kecil ketika tanya pada bosnya. Bosnya bilang: "Harganya masih turun, dari dulu turun. Jika bos atasnya lancar, ya ke bawahnya lancar."Jawaban yang dianggap cukup kuat karena tutup buku. Begitu, tutup, tutup buku.

Harga sampah turun karena tutup buku, padahal setelah buka buku harga malah turun terus. Masalahnya tidak terungkap ke permukaan secara gamblang.

Dampak Impor Sampah

Ada yang bilang karena gempuran impor sampah atau sampah impor. Isu dan masalah sampah impor mulai santer sejak tahun 1980-an, dan semakin heboh pada tahun 2019/2020-an. Sampah impor membanjiri negara-negara Asean, seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Filifina, dll. Negara-negara ini sebagai tujuan pasar dumping sampah dari negara-negara maju, seperti Inggris, Jerman, Belanda, Kanada, Amerika, Australia, dll.

Sampah impor membuat kemauan sistem pengelolaan sampah dalam negeri. Impor sampah melemahkan tatanan sosial, ekonomi dan politik lokal, serta mencemari dan menghancurkan lingkungan hidup.

Pemulung menolak keras impor sampah karena merusak harga sampah dalam negeri, menghancurkan ekonomi dan kehidupannya.

Menteri Lingkungan Hidup merespon kondisi buruk yang dialami pemulung, pelapak dan sektor persampahan. Pada Januari 2025 Menteri LH DR. Hanif Faisol Nurofiq melarang impor plastik dan memperketat impor kertas. Bersamaan dengan itu Menteri LH meminta sektor informal membantu pemerintah dalam penyiapan bahan baku plastik dan kertas untuk sektor industri daur ulang.

Pemulung dan keluarganya sudah bekerja sangat keras mengais sampah dan pelapak mengumpulkannya. Namun, kehidupan mereka belum tertolong, masih buruk.

Pemulung tetap miskin, bahkan semakin miskin. Hidup dalam gubuk kumuh, bacin, sanitasi buruk, tak mendapat pelayanan air bersih. Yang sangat menyedihkan, mereka terjerat berbagai utang dan rente. Pemulung semakin kurus dihisap sanga pelaku rente.

Bisakah pemerintah dan dunia usaha daur ulang menolong nasib para pemulung dan pelapak kecil yang terpuruk?

Setidaknya, pemerintah dan dunia usaha daur ulang menjaga stabilitas harga, menaikkan harga sampah dalam negeri, fasilitasi mereka berkaitan dengan permodalan, teknologi dan pasar daur ulang.

Bisa juga pemerintah dan dunia usaha daur ulang memberikan subsidi harga agar pendapat mereka stabil dan meningkat. Sedangkan pelapak kecil dapat menjaga dan mengembangkan usahanya. Mereka bertahun-tahun menunggu perhatian serius pemerintah guna memperbaiki kehidupan sosial ekonominya

Redaktur: Lili Lestari

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan: