Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 05 Agu 2022, 00:00 WIB

Mengapa Nama Siam Berubah Menjadi Thailand?

Foto: Istimewa

Nama Thailand sampai saat ini belum benar-benar final dan masih terus diperdebatkan. Kata "thai" yang merupakan etnis mayoritas, dinilai rasis sehingga mengabaikan keragaman yang ada.

Thailand termasuk bangsa yang sering dengan mudah mengubah nama. Pada 16 Januari 2022 misalnya, Kota Bangkok diubah dengan nama Krung Thep Maha Nakhon yang artinya kota besar para malaikat, sebuah nama yang sulit dilafalkan untuk orang asing.
Perubahan nama bukan barang baru. Sebelumnya Thailand bahkan berani mengubah nama negara dari Siam menjadi Thailand. Pada 11 Mei 1949, Radio Bangkok mengumumkan kepada dunia bahwa mulai hari itu, "Siam" diubah menjadi "Thailand." Sebuah keputusan yang masih sulit diterima sampai kini.
Penentangan pada nama itu kembali mencuat. Pada awal Juni 2009 misalnya, seorang profesor sejarah terkemuka di Universitas Thammasat Bangkok, Charnvit Kasetsiri, meluncurkan kembali kampanyenya untuk menyebut Thailand dengan nama lama Siam.
Nama Thai sendiri berasal dari kata Thai dan land yang dalam Bahasa Inggris artinya negeri orang Thai. Thai sendiri memiliki arti lain yaitu "merdeka, orang-orang yang merdeka", sehingga Thailand juga bisa disebut negeri orang-orang yang merdeka.
Namun Thai bukan nama netral. Nama ini adalah nama suku terbesar di Thailand. Bahasa suku Thai berkerabat dengan keluarga Bahasa Tai-Kadai yang tersebar di Tiongkok selatan dan Asia tenggara.
World Population Review mencatat pada 2022 ini suku Thai di Thailand mencapai 75 persen, Tiongkok 14 persen, Melayu 3 persen, dan sisanya yaitu suku lainnya seperti Lao, Mon, Khmer, Arab, Hmong, dan Farang.
Dr Pavin Chachavalpongpun adalah peneliti tamu di Institut Studi Asia Tenggara di Singapura, berpendapat, nama Thailand merupakan nama kerajaan masa lalu terlepas dari anakronismenya. "Karena itu, nama Thailand sejak lama dianggap mengandung nada rasis-nasionalis," ujar dia dalam tulisannya di laman The Irrawaddy.
Sedangkan kata Siam sendiri digunakan oleh orang-orang di sekitar negara Thailand. Kata ini berasal dari kata Sayam yang berakar pada kata dalam bahasa Sanskerta, Syama yang berarti gelap. Istilah ini mengacu pada warna kulit mereka yang cenderung lebih gelap dibandingkan orang-orang di negara-negara sekitarnya.
Bagi Charnvit Kasetsiri, nama Siam lebih mencerminkan keragaman etnis negara itu bukan hanya mengacu pada etnis mayoritas. Charnvit berpendapat bahwa nama Thailand dimaksudkan untuk menjadi eksklusif sejak awal, mengacu pada orang yang berbeda.
Namun pemerintah militer Thailand di bawah Perdana Menteri Plaek Phibunsongkhram beralasan nama Thailand cocok untuk menyebut bangsa dengan nama yang mewakili mayoritas negara dan populer di masyarakat. Lagipula, kata dia, orang Thailand tidak pernah menyebut dirinya dengan Siam, tapi Meuang Thai yang artinya negara yang tidak pernah dijajah.

Asal Muasal
Lalu dari mana asal muasal kata Siam? Nama Siam pertama kali muncul dalam prasasti Cham dari abad ke-11 yang menulis tentang tawanan perang. Chams adalah ras pelaut yang menetap di tempat yang sekarang disebut Vietnam selatan, mendirikan Champa yang mencapai puncaknya pada abad kedua belas.
Catatan Tiongkok menceritakan tentang kedutaan diplomatik ke wilayah tersebut pada 1282 di mana Sukhothai disebut sebagai Sien. Ada beberapa spekulasi bahwa kata Siam berasal dari kata Sansekerta syama yang berarti gelap, referensi untuk warna kulit gelap orang Thailand.
Apapun asal usulnya, kata Siam tampaknya sudah umum digunakan sebelum kedatangan pertama orang Eropa pada 1511. Pada abad kesembilan belas, Raja Mongkut (Rama IV) dalam setiap korespondensinya dengan orang asing, kerap menandatangani suratnya dengan sebutan Rex Siamensium.
Meski orang Thailand selalu menyebut wilayah mereka sebagai Meuang Thai, tetapi kata meuang bukan memiliki arti bangsa. Sebaliknya, kata itu menunjukkan sebuah kota dan daerah sekitarnya yang lebih luas di bawah kendalinya.
Batas wilayah bangsa yang tepat antara satu meuang dan yang lain akan tidak jelas dan tidak dianggap penting. Mereka orang-orang yang tinggal di zona pinggiran mungkin terikat pada penguasa lebih dari satu meuang.
Ketika orang Eropa tiba di Bangkok pada abad kesembilan belas, mereka mengadopsi konsep asing tentang bangsa (nation). Bagi orang Eropa, sebuah bangsa perlu didefinisikan dengan batas-batas yang tepat yang digambar di peta. Lebih jauh, bangsa harus sesuai dengan ras atau etnis tertentu yang biasanya dilambangkan dengan bahasa.
Konsep kontrol teritorial yang berbeda ini menyebabkan kesalahpahaman yang berkelanjutan di tahun-tahun awal kontak dan negosiasi. Permintaan awal oleh Inggris untuk bersama-sama mensurvei dan memetakan perbatasan pada awalnya disambut dengan ketidakpedulian oleh orang-orang Thailand.
Inggris yang menjajah Burma atau Myanmar, saat itu menuntut untuk melihat tidak ada perjanjian yang mungkin menentukan perbatasan. Namun, pada akhir abad kesembilan belas, pemerintahan Raja Chulalongkorn telah menyerap konsep-konsep baru bangsa.
Didorong oleh kebutuhan mendesak secara aktif berpartisipasi dalam survei perbatasan dan negosiasi yang menentukan batas-batasnya dengan koloni Inggris dan Prancis yang menjajah Vietnam dan Laos, akhirnya peta pertama perbatasan Siam diterbitkan pada 1894, tidak lama setelah Insiden Paknam, Siam hampir jatuh di tangan Prancis.
Insiden Paknam adalah pertempuran militer selama Perang Prancis-Siam pada Juli 1893. Saat berlayar dari Paknam di Sungai Chao Phraya Siam, tiga kapal Prancis melanggar wilayah Siam dan benteng Siam dan kekuatan kapal perang melepaskan tembakan peringatan. Dalam pertempuran berikutnya, Prancis menang dan memblokade Bangkok, sekaligus mengakhiri peperangan. hay/I-1

Menguatkan Nasionalisme Bangsa Thai

Pada akhir era '30-an, Siam telah banyak berubah. Monarki absolut telah digulingkan pada 1932 oleh "Partai Rakyat", sebuah kelompok elit dan intelektual non-kerajaan militer dan sipil. Pada 1938, Jenderal besar Plaek Phibunsongkhram bangkit dari faksi militer untuk menjadi Perdana Menteri.
Dengan dunia di ambang konflik global, nasionalisme adalah filosofi penggerak zaman itu dan yang sepenuhnya dianut oleh Perdana Menteri Phibunsongkhram. Itu adalah keyakinannya bahwa hanya negara-negara besar dan kuat yang akan selamat dari perjuangan yang akan datang sementara negara-negara kecil akan ditaklukkan.
Oleh karena itu dia sangat mendorong gagasan bahwa Siam harus menjadi negara yang jauh lebih besar, seperti dulu sebelum wilayahnya hilang dari Prancis menjadi Laos dan Kamboja, dari Inggris menjadi Burma dan Malaya. Perdana Menteri Luang Wichit Wathakan, menggunakan peta Prancis untuk menjelaskan 60 juta orang Thailand mendiami wilayah dari Tiongkok selatan, mereka berada melintasi Burma dan Assam, melintasi Siam hingga Laos dan Kamboja.
Visi "Kerajaan Thailand Raya" kemudian dibuat dan PM Wichit mengusulkan bahwa langkah pertama dalam mencapai visi pan-Thailand ini adalah mengganti nama Siam menjadi Thailand (Prathet Thai) untuk lebih mencerminkan susunan rasial bangsa.
Namun di sisi lain sejak 1880 telah terjadi migrasi besar-besaran orang Tiongkok ke Siam. Disusul pada era '20-an terjadi gelombang imigrasi negeri Tirai Bambu kembali datang sebanyak setengah juta orang. Mereka kemudian mendominasi perdagangan perkotaan dan khususnya industri penggilingan padi yang vital.
Gelombang kedatangan orang-orang Tiongkok terjadi karena mereka sedang mengalami revolusi sosial. Puncaknya Revolusi Xinhai pada 1911 yang mengakhiri kekuasaan Qing dan menggantikannya dengan pemerintahan nasionalis.
Pada akhir era '30-an, pemerintah PM Phibunsongkhram membatasi sekolah-sekolah Tiongkok, menutup bank-bank yang mengirim uang ke Tiongkok dan menekan surat kabar Tiongkok dan menasionalisasi industri penggilingan padi. Sentimen anti-Tiongkok menjadi, faktor penting di balik keputusan untuk mengubah nama negara Thailand, menegaskan tanah tersebut milik orang Thai.
Pada 24 Juni 1939, pemerintah PM Phibunsongkhram menandai ulang tahun ketujuh revolusi 1932 yang menggulingkan monarki absolut. Ia mengumumkan butir-butir amanat yang kemudian disebut dengan dua belas "Mandat Budaya".
Mandat Budaya adalah serangkaian dekrit negara kepada penduduk yang dikeluarkan selama periode tiga tahun. PM Phibunsongkhram bermaksud agar mandat ini akan mengatasi "kekurangan" yang menghambat kemajuan negara. hay/I-1

Redaktur: Ilham Sudrajat

Penulis: Haryo Brono

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.