Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Mengapa Ketegangan Russia-Ukraina Membuat Timur Tengah Gelisah

Foto : Istimewa

Ilustrasi. Pemberontak Houthi Yaman membuang paket bantuan kedaluwarsa dari Program Pangan Dunia (WFP) di ibu kota Sanaa pada 2019.

A   A   A   Pengaturan Font

ABU DHABI - Invasi Russia ke Ukraina akan mengirimkan gelombang kejut ke seluruh Eropa dan mungkin sampai ke Barat, hingga Amerika Serikat (AS).Tetapi sebuah wilayah yang lebih jauh ke selatan mungkin mendapati dirinya menjadi korban yang tidak disangka dari potensi konflik.

Menurut S&P Global, selama ini, Ukraina dan Russia menyumbang 23 persen dari ekspor gandum dunia. Harga pangan global sudah mendekati level tertinggi 10 tahun dan pangsa pasar kedua negara berarti bahwa setiap gangguan dalam ekspor dapat menyebabkan harga biji-bijian meroket.

Ukraina dijuluki sebagai lumbung pangan Eropa, tetapi negara-negara Timur Tengah juga sangat bergantung pada ekspornya, ke tingkat yang diperingatkan beberapa orang telah menjadi sangat tinggi.

Menurut Departemen Pertanian AS, Timur Tengah adalah pembeli gandum terbesar ketiga Ukraina pada pasar 2020-2021. Lebih dari 40 persen ekspor gandum negara itu baru-baru ini dikirim ke Timur Tengah atau Afrika saja.

Dana Moneter Internasional (IMF)memproyeksikan biaya energi dan harga komoditas di banyak negara akan meningkat jika terjadi konflik.

"Efeknya di Timur Tengah, bagaimanapun bisa jauh lebih buruk daripada negara lain. Ketakutan akan konflik yang menggantung di dua pemasok utama dunia jelas akan berdampak pada harga, ketika sudah ada rasa kekurangan," kata Direktur Program Timur Tengah dan Afrika Utara di Dewan Luar Negeri Eropa, Julien Barnes-Dacey, baru-baru ini.

Lebanon, Libya, dan Mesir adalah di antara pembeli terbesar Ukraina di kawasan itu, dengan negara-negara seperti Yaman dan Suriah bergantung pada pengadaan gandum Ukraina dari Program Pangan Dunia untuk bantuan.

Mesir dengan populasi lebih dari 100 juta, adalah pengimpor gandum terbesar di dunia. Pihak berwenang di sana sudah memperingatkan tentang kekurangan.Russia adalah pemasok gandum utama Mesir; Ukraina adalah yang kedua.

"Perseteruan antara dua eksportir gandum dan biji-bijian terbesar di dunia menimbulkan ketidakpastian di pasar," kata Menteri Pasokan dan Perdagangan Dalam Negeri, Ali Moselhy, seperti dikutip oleh kantor berita negara MENA pada Minggu.

Moselhy kemudian mengatakan kepada Reuters bahwa kekurangan dapat ditutupi oleh pemasok lokal untuk saat ini, menambahkan bahwa dia "tidak khawatir".

Kekurangan jangka panjang dapat memperburuk situasi ketahanan pangan yang sudah mengerikan di beberapa negara di kawasan itu. Menurut laporan PBB 2020,hampir 69 juta orang di Timur Tengah dan Afrika Utara kekurangan gizi, terhitung hampir 9 persen dari total global. Banyak yang berada di negara-negara yang dilanda konflik.

"Kelaparan telah meningkat sejak 2014 di kawasan itu, dengan mata pencaharian anjlok setelah pemberontakan Musim Semi Arab dan lagi setelah pandemi Covid-19," kata Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).

FAO menempatkan prevalensi kekurangan gizi di kawasan ini pada tahun 2020 sebesar 15,8 persen, dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 9,9 persen.

"Masalah sebenarnya di sini adalah ada krisis kemanusiaan besar-besaran yang terjadi di seluruh wilayah, dan kebutuhan itu belum terpenuhi," kata Barnes-Dacey.

Menurut para analis, negara-negara bagian dan donor mungkin dapat memperoleh gandum dari sumber lain tetapi kenaikan harga dapat menghambat jaringan importir yang sudah kekurangan dana.

"Ketika kebutuhan saat ini sudah tidak terpenuhi, sulit untuk membayangkan Anda akan dapat mengamankan dorongan besar baru yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan baru," kata Barnes-Dacey, mencatat bahwa negara bagian yang paling tidak stabil mungkin "bahkan tidak menemukan itu dalam kemungkinan ranah" untuk mengamankan sumber tambahan.

Gangguan pada pelabuhan utama di Laut Hitam, yang berbatasan dengan Russia dan Ukraina, serta kenaikan biaya energi, dapat memperburuk situasi.

Wilayah tersebut secara khusus "akan menjadi korban utama dari potensi konflik di Russia dan Ukraina)," kata juru bicara Program Pangan Dunia untuk Timur Tengah Abeer Etefa.

Gandum akan menjadi komoditas yang terkena dampak paling parah. "Ini mungkin pelajaran baru (bagi negara-negara Arab), bahwa kita harus menyeimbangkan pengadaan. Agar kita selalu dapat mendiversifikasi dan mengamankan pasokan secara permanen jika ada konflik," kata mantan penasihat kementerian pasokan Mesir, Nadr Nour Eldin.

Sementara itu, pakar pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan, bila krisis Ukraina dan Russia pecah menjadi perang, akan mendorong kenaikan harga pangan dunia yang dampaknya akan dirasakan sampai Indonesia.

"Otomatis jika pecah perang dampak ikutannya akan menaikkan harga pangan dunia, mengingat Eropa dan Russia makanan pokoknya adalah gandum. Selain itu efek karambolnya akan kita rasakan karena ketergantungan gandum impor kita masih tinggi," kata Ramdan.

Perusahaan-perusahaan besar yang gandumnya impor akan merasakan dampaknya. Sesuai hukum supply and demand, tambah dia, jika terjadi perang, maka kebutuhan internal negara-negara yang terlibat perang akan meningkat, seiring terganggunya lini produksi karena perang.

Rantai bahan baku dan proses industri juga terganggu. Hal itu terjadi, tambah dia, karena selain banyak kegiatan yang terhenti, sumber daya manusia yang terlibat juga akan banyak dipanggil untuk bela negara melalui wajib militer, sehingga proses produksinya kekuarangan orang.

"Ini menjadi pelajaran bagi kita agar tidak terlalu bergantung dengan gandum impor. Seharusnya momen ini bisa menjadi blessing, dengan membangkitkan program food estate untuk meningkatkan produksi subtitusi impor gandum, seperti tepung kasafa, agar kita bisa bergerak menuju kemandirian dan kedaulatan pangan," tukasnya.

Sementara itu, Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, mengatakan perang Russia dan Ukraina berpotensi meningkatkan harga pangan global, salah satunya harga gandum dan Indonesia akan terdampak.

"Indonesia impor gandum salah satunya dari Ukraina. Kalau perang, logistik terganggu. Nah, Russia yang akan menggantikannya, tergantung bagaimana pasokan dari Russia ke Indonesia. Tapi pasti berdampak pada kita," papar Gunawan.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top