Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menciptakan Kota Berperadaban dan Bebas Banjir

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Membangun Peradaban Kota

Penulis : Nirwono Joga dan Dhaneswara NI

Tebal : xii + 284 halaman

Penerbit : Gramedia

Cetakan : I, September 2018

ISBN : 978-602-03-9843-3

Buku karya pakar tata ruang dan perencanaan ini mengupas secara mendalam langkah untuk membangun peradaban kota. Pembangunan kota harus mencerdaskan warga melalui tata ruang yang berkeadilan dan berkelanjutan. Kemudian ditujukan bagi seluruh warga. Membangun kota berperadaban harus tangguh terhadap bencana. Sebab tak ada satu pon kota terbebas dari ancaman bencana. Mereka di bawah ancaman erupsi gunung berapi, gempa bumi, tsunami, puting beliung, banjir, dan bencana-bencana lainnya.

Kota tangguh bencana harus memiliki kesiapan mitigasi (pengurangan risiko) bencana. Kota dirancang untuk dapat bertahan terhadap guncangan, tanpa gangguan permanen atau gagal fungsi. Kota juga memiliki kecenderungan untuk memulihkan diri atau menyesuaikan secara mudah terhadap perubahan mendadak. Lokasi rawan bencana harus dipetakan serta dibuat jalur dan tempat evakuasi. Kawasan rentan bencana harus bebas bangunan dan permukiman. Mereka dijadikan hutan konservasi (hlm 199).

Banjir paling sering terjadi hampir di semua kota. Buku ini mengkritisi kesalahkaprahan penanganan banjir di banyak kota. Banjir terjadi karena manusia tidak menyadari hujan sebagai anugerah Tuhan yang harus disyukuri. Tuhan menurunkan hujan untuk keberlangsungan kehidupan karena air merupakan sumber kehidupan. Banjir diatasi dengan pendekatan ekodrainase. Ini adalah menampung air sebanyak-banyaknya untuk diresapkan ke tanah agar tak ada air hujan terbuang (hlm 65).

Ekodrainase bisa dengan membangun sumur-sumur resapan, waduk, dan memperbanyak hutan kota. Harapannya, kota tidak kebanjiran di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Upaya mengatasi banjir yang berorientasi dengan membuang air secepat-cepatnya ke saluran air, sungai, dan berakhir di laut harus ditinggalkan.

Kesalahkaprahan mengatasi banjir terlihat nyata dalam penanganan sungai yang dianggap sebagai penyebab utama banjir. Normalisasi sungai dengan betonisasi dan pelurusan alur sungai sebagai langkah keliru. Alih-alih mengatasi banjir, betonisasi akan menyebabkan kehancuran ekosistem tepian sungai, pendangkalan sungai, dan ancaman kekeringan di musim kemarau. Pelurusan alur sungai menyebabkan arus air mengalir cepat sehingga daya rusak di hilir semakin besar.

Sungai justru harus dinaturalisasi dengan lebar dan alur sungai dikembalikan ke bentuk alami. Bantaran sungai ditanami pohon berakar penguat tebing untuk menahan longsor. Ini juga sebagai habitat ekosistem tepian sungai. Bentuk alami sungai yang berkelok-kelok dipertahankan agar arus melambat. Ini juga meresapkan air ke kiri-kanan bantaran sungai sehingga menghidupkan ekosistem tepian sungai dan menjaga ketersediaan air tanah untuk penduduk (hlm 82).

Buku delapan bab ini juga memasukkan hak pejalan kaki dan penyandang disabilitas sebagai ukuran kota berperadaban. Hak pejalan kaki sering diabaikan dalam penataan kota (hlm 204). Berjalan kaki merupakan hak asasi manusia dan cermin puncak peradaban kota yang memungkinkan warga berinteraksi. Pemerintah kota harus membangun trotoar lebar minimal selebar bahu manusia (60 cm). Untuk penyandang disabilitas, lebar minimal 1,5 meter. Trotoar harus menyatu rata, tertutup rapat, dan tidak terputus oleh pintu keluar-masuk bangunan. Dia dilengkapi guiding block untuk kaum disabilitas.

Setiap kota tegas menerapkan Rencana Tata Ruang Wilayah. Jangan pernah tata ruang berubah menjadi "tata uang."

Diresensi Muhamad Ilyasa, alumnus UNJ

Komentar

Komentar
()

Top