![Menceritakan Kisah Gerilyawan Aceh secara Fiktif](https://koran-jakarta.com/images/article/php_d7ok9_resized.jpg)
Menceritakan Kisah Gerilyawan Aceh secara Fiktif
![Menceritakan Kisah Gerilyawan Aceh secara Fiktif](https://koran-jakarta.com/images/article/php_d7ok9_resized.jpg)
Kemurahan hati Putri yang mau membantu bertahan hidup di Pekanbaru telah menyentuh Asrul. Setelah mengalami kerasnya peperangan, dia menemukan sisi kehidupan yang sama sekali berlawanan: cinta dan belas kasih. Asrul menganalogikan cinta seumpama matahari, "Ia tidak pernah mengharapkan cahaya dari bumi. Tapi, ia selalu memberikan cahaya bagi bumi, biar pun bumi tidak merasakan cahayanya (hal 92)." Perasaannya kepada Putri justru mengantarkan pada sebuah dilema, antara hasrat ingin membangun kehidupan baru bersama Putri dan melanjutkan perjuangan membela tanah Aceh.
Novel ini seolah hendak mempertanyakan kembali narasi politik dan ideologi yang menyeret rakyat Aceh pada konflik. Kemudian juga membenturkannya dengan narasi-narasi tentang cinta, ketulusan, dan kesetiaan yang bersifat lebih humanis. Betapa peperangan, apa pun motifnya, hanya akan membawa manusia pada rentetan kehilangan. Terdapat nuansa humor gelap, di mana Asrul dan kawan-kawan gerilyawan tak lagi merasakan perang sebagai sesuatu yang serius, tapi permainan belaka. Bagi mereka, maut yang bisa datang sewaktu-waktu dan canda gurau hanya berbatasan tipis.
"Aku jadi teringat pelatihku. Suatu hari selesai latihan militer, kudatangi di tendanya. Sambil membersihkan pistol FN yang dibongkar, dia berucap, 'Padukanlah pikiran dan perasaanmu, niscaya kau mampu mengendalikan dunia ini. Seperti bayi yang mengisap puting susu, dia juga dapat menepuk-nepuk nenen ibunya' (hal 24-25)," kata Asrul.
Arafat Nur memang dikenal sebagai sastrawan yang menyuarakan Aceh lewat karya-karyanya. Novel ini dapat didudukkan sebagai fiksi memoar yang memotret secuplik sejarah kontemporer Aceh dan menyajikannya lewat cara pandang humanistis. Dengan harapan, masyarakat masa kini dapat memetik pelajaran dari sekelumit tragedi sejarah yang pernah terjadi.
Diresensi Puri Bakthawar, Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Sastra UGM Yogyakarta
Komentar
()Muat lainnya