Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Selasa, 07 Jan 2025, 15:00 WIB

Menangkap Peluang Pasar Energi Surya Dunia untuk Dongkrak Industri Dalam Negeri, Bagaimana Caranya?

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

Foto: ANTARA/HO-Humas Kementerian ESDM

Alvin Putra Sisdwinugraha, Institute for Essential Services Reform

Pengembangan energi surya saat ini sedang dalam tren positif. International Renewable Energy Agency (IRENA) mencatat ada penambahan kapasitas listrik energi surya sebesar 346 gigawatt (GW) di seluruh dunia pada 2023. Jumlah tersebut hampir tiga kali lipat dari total jenis pembangkit energi terbarukan lainnya.

Negara-negara Asia Tenggara pun turut andil dalam kemeriahan tren ini. Vietnam, misalnya, telah mengembangkan PLTS hingga 17.077 megawatt (MW), disusul oleh Thailand (3.181 MW), dan Malaysia (1.933 MW).

Dalam konteks PLTS, Tiongkok kian mendominasi pasokan modul surya dunia hingga membuat Amerika Serikat menerapkan bea masuk selangit untuk impor barang tersebut dari Negeri Panda.

Situasi demikian dimanfaatkan dengan baik oleh beberapa negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Dengan kapasitas produksi sebesar 70 GW per tahun, negara-negara ini mampu menyuplai kurang lebih 10% dari kebutuhan modul surya dunia pada 2023.

Sayangnya, gairah pengembangan energi surya tak setali tiga uang di Indonesia. Alih-alih menggeliat, industri PLTS lokal Indonesia justru semakin loyo di tengah banjir modul surya impor, khususnya dari Tiongkok.  

Kapasitas produsen modul surya lokal hanya di kisaran 300-400 megawatt (MW) pada 2023). Capaian itu amat jauh dari kapasitas produksi domestik sekitar 2,3 gigawatt (sekitar 2.300 MW) per tahun. Mayoritas dari angka tersebut masih berorientasi untuk pasar domestik.

Kelesuan ini merupakan kombinasi dari berbagai kebijakan dan regulasi di dalam negeri yang belum berpihak pada pengembangan industri energi surya lokal selama bertahun-tahun. Dalam artikel ini, kami mencoba menguraikan beragam penyebabnya.

Target tinggi, tapi permintaan terbatas

Laporan Indonesia Solar Energy Outlook 2025 yang kami terbitkan mencatat bahwa kapasitas terpasang PLTS di Indonesia per Agustus 2024 baru mencapai 717 MW.

Di sisi lain, pemerintah justru menginginkan target penggunaan energi surya yang super ambisius, sekitar sebesar 31% dari bauran energi primer pada 2060—menurut draft Kebijakan Energi Nasional. Ini setara dengan 309 ribu MW kapasitas PLTS.

Mengingat kecilnya permintaan PLTS dalam negeri, usulan target ini cukup membuat waswas. Rendahnya permintaan domestik yang rendah belakangan ini disebabkan oleh berbagai macam faktor.

Pertama adalah keterlambatan proyek listrik berskala besar dalam rencana PLN. Alhasil, capaiannya hanya sebesar 285 MW dari target 612 MW pada 2023.

Keterlambatan ini disebabkan oleh kelebihan pasokan listrik di sistem Jawa-Madura-Bali pada periode 2019-2022. Ada juga faktor ketidaksiapan infrastruktur jaringan seperti yang terjadi pada pelelangan enam proyek PLTS tersebar di sistem Sumatra pada tahun 2017.

Kedua, regulasi yang tidak mendukung. Upaya untuk meningkatkan permintaan modul surya melalui pemasangan PLTS atap bangunan melambat akibat PLN membatasi kapasitas pemasangan selama 2022 - 2023. Hal ini merusak momentum pemasangan PLTS atap yang tengah mengalami kenaikan yang luar biasa pada periode 2018-2021.

Lebih lanjut, pemerintah juga menghapus sistem net-metering—yang memungkinkan pelanggan menjual listrik PLTS atapnya ke PLN. Alhasil, insentif bagi para calon pelanggan PLTS atap menjadi berkurang.

Per Juli 2024, kapasitas terpasang PLTS atap di Indonesia baru mencapai 245 MW. Penetapan kuota PLTS atap sebesar 1,6 GW hingga tahun 2028 oleh pemerintah juga tidak cukup membantu meningkatkan permintaan domestik terhadap modul surya.

Simalakama kewajiban komponen lokal

Pemerintah Indonesia awalnya mewajibkan penggunaan produsen modul surya maupun pengelola proyek PLTS menggunakan komponen produksi dalam negeri dengan batas minimum tertentu. Batasan ini didesain untuk meningkat secara bertahap, mulai dari 40% di tahun 2017 hingga 60% di tahun 2019.

Kewajiban ini sepintas terlihat seperti mendukung produk lokal. Sayangnya, aturan tersebut justru menjadi salah satu penghambat dalam pengembangan proyek PLTS di Indonesia. Selain harganya lebih mahal dibandingkan produk impor (sekitar 30-45% lebih tinggi), produk lokal juga kalah efisien (sekitar 1,5-2,6% lebih rendah dari produk luar).

Modul surya impor juga tak jarang sudah mengantongi label Tier-1 dari pelabel global BNEF sehingga kredibilitas produk mereka meningkat. Label tersebut turut memudahkan pendanaan untuk proyek-proyek PLTS berskala besar.

Aturan kewajiban komponen lokal ini, sayangnya, tidak dibarengi mekanisme yang fleksibel untuk PLTS. Pada akhirnya, beberapa proyek harus mendapatkan pengecualian, termasuk PLTS Terapung Cirata yang baru beroperasi pada akhir 2023.

Masalah-masalah tersebut kemudian membuat pemerintah mengurangi batas minimum kewajiban komponen lokal proyek PLTS dari 40% menjadi 20%. Bersamaan dengan itu, pemerintah turut menghapus kewajiban komponen lokal bagi modul surya.

Perubahan kebijakan juga dilatari rencana pemerintah mempercepat beberapa proyek energi surya strategis dalam jangka 1-2 tahun ke depan, seperti PLTS Terapung Saguling (Jawa Barat), Singkarak (Sumatra Barat), dan Karangkates (Jawa Timur).

Meski layak diapresiasi, pencabutan kewajiban komponen lokal dalam produksi modul surya tetap berisiko mengikis peluang para produsen domestik untuk berpartisipasi dalam transisi energi bersih. Terlebih lagi, banyak merek modul surya global berlabel Tier-1 yang tengah gencar berinvestasi di rantai pasok produksi modul surya di Indonesia. Investasi asing ini berpotensi menambah kapasitas produksi tahunan modul surya sebanyak 19 GW atau sembilan kali lipat dari kapasitas produksi saat ini.

Investasi yang dilakukan sebenarnya dapat berdampak positif, dengan potensi nilai tambah ekonomi mencapai lebih dari 600 kali lipat dari investasi awal. Namun tanpa intervensi yang tepat serta jaminan kepastian regulasi, momentum ini berpotensi menjadi sia-sia.

Apa yang dapat Indonesia lakukan?

Indonesia harus betul-betul berkomitmen dalam mengejar ketinggalan produksi dan pemakaian energi surya. Agar investasi ini bertumbuh subur diperlukan upaya tambahan dengan memberikan insentif dan menghalau berbagai hambatan yang ada. Ada tiga langkah yang bisa pemerintah lakukan:

Pertama, meningkatkan permintaan dalam negeri. Pemerintah membutuhkan perencanaan dan eksekusi yang matang untuk meningkatkan kepastian permintaan modul surya dalam negeri.

PLN berperan sentral dalam hal ini. Pengadaan untuk proyek PLTS oleh perusahaan setrum tersebut harus dilakukan secara reguler dan tetap berpedoman terhadap rencana usaha mereka.

Kedua, pengembangan PLTS membutuhkan insentif langsung baik fiskal maupun nonfiskal agar harga produk modul surya dalam negeri bisa bersaing dengan barang impor. Beberapa opsinya adalah penetapan harga khusus penjualan listrik khusus untuk proyek PLTS yang menggunakan produk dalam negeri, dan menyediakan pasar khusus untuk penggunaan produk lokal.

Pemerintah juga bisa menerapkan kebijakan penyertaan anggaran negara untuk membantu pembuatan modul surya maupun PLTS yang belum ekonomis. Mengingat pasar dalam negeri masih belum stabil, pemerintah dapat memberikan insentif ekspor para produsen untuk memasukkan produk mereka ke pasar luar negeri yang strategis.

Terakhir, pemerintah harus melakukan alih teknologi dan persiapan tenaga kerja untuk menguasai rantai pasok energi surya secara komprehensif. Langkah ini dapat berupa pemberian bantuan dalam bentuk pembelian lisensi teknologi dari produsen global yang tertarik berinvestasi di Indonesia, serta meningkatkan akses terhadap pendidikan tinggi dan vokasional di bidang teknologi energi surya.The Conversation

Alvin Putra Sisdwinugraha, Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan, Institute for Essential Services Reform

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.