Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menakar Kebijakan Ekologi Capres

Foto : Koran Jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

OLEH JANUARI SIHOTANG, SH, LLM

Debat kedua para calon presiden (capres) Minggu, 17 Februari 2019, berlangsung lebih menarik. Faktor utamanya bukan hanya karena tema yang diusung bersentuhan langsung dengan kehidupan rakyat, namun perubahan mekanisme sehingga suasana perdebatan lebih hidup.

Berbeda dengan debat pertama, mekanisme baru ini memungkinkan para capres leluasa mengelaborasi visi misi. Ketiadaan kisi-kisi pertanyaan juga menyebabkan jawaban-jawaban para kandidat lebih orisinal. Kendati publik belum mendapat penjabaran seutuhnya visi misi, jawaban mereka bias menjadi preferensi rakyat menentukan pilihan.

Tema pangan, energi, sumber daya alam, lingkungan, dan infrastruktur menarik dibahas karena terkait beberapa aspek, di antaranya wilayah Indonesia sangat luas dan secara geografis amat strategis dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Sebagaimana layaknya wilayah tropis, hutan lebat Indonesia menjadi paru-paru dunia. Tidak hanya itu, Indonesia juga dianugerahi aneka barang tambang yang secara matematis seharusnya menjadikan lebih makmur.

Kemudian, kekayaan alam tersebut menjadi sebuah ironi karena negara ini terkesan kurang serius dan sekaligus bimbang dalam mengelolanya. Sejak dulu Indonesia mengaku sebagai negara agraris, tetapi hingga kini terus membuka keran impor pangan.

Izin konsesi tambang juga masih menjadi persoalan yang membelit dan sejak lama menjadi ladang korupsi. Pengelolaan pertambangan masih didominasi korporasi asing dan hanya segelintir warga Indonesia. Ketimpangan sosial pun menjadi tidak terhindarkan. Sekitar 90 persen aset bangsa, justru dikelola hanya oleh 1 persen warga sendiri.

Lalu, para pengelola kekayaan alam belum mampu menerapkan konsep pembangunan lingkungan berkelanjutan. Pengelolaan limbah produksi hingga reklamasi lahan bekas tambang masih menjadi persoalan serius. Demikian juga pembakaran hutan terjadi terus menerus, walau menurun angkanya mulai dari 216.000 ha pada tahun 2015 menjadi 4.000 ha pada tahun 2018. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri, angka tersebut masih tetap signifikan.

Kerusakan lingkungan, khususnya hutan, tidak hanya diakibatkan kebakaran, namun juga perambahan atau illegal logging. Buku Rekor Dunia Guinness mencatat, Indonesia sebagai negara dengan tingkat kehancuran hutan tercepat di antara negara-negara yang memiliki 90 persen sisa hutan dunia.

Baca Juga :
Curi Start Pilpres

Indonesia menghancurkan luas hutan setara dengan 300 lapangan sepak bola perjam. Sebagai tambahan, Forest Watch Indonesia juga mencatat kerusakan hutan dari tahun terus meningkat. Sampai kini sudah mencapai dua juta ha per tahun. Akibatnya, luas hutan Indonesia selama 50 tahun terakhir telah berkurang dari 162 juta hektar menjadi 98 juta hektar.

Sekali lagi, ini membuktikan negara masih terkesan gagap dan bingung mencegah maupun menindak perusak lingkungan. Padahal, setiap musim pemilu, masalah lingkungan dan pembangunan berkelanjutan selalu menggema.

Pembahasan kerusakan lingkungan atau ekologi memang menjadi sangat rumit karena tidak semata-mata masalah hokum. Dia berkelindan dengan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Apalagi ketika penguasa sudah berkoalisi dengan pengusaha. Lebih parah lagi, andai penguasa adalah pengusaha itu sendiri.

Kondisi demikian menyebabkan garis kebijakan atau politik hukum penyelesaian permasalahan lingkungan tidak berjalan sesuai dengan ketentuan. Maka, mudah dipahami jika pergantian rezim tidak juga mampu menyelesaikan permasalahan lingkungan. Alasannya sederhana, hampir setiap rezim menghadapi persoalan sama.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi tahun 1992 di Rio De Janeiro, Brasil, Indonesia dengan mantap menerima paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah agenda politik pembangunan. Namun, harus diakui, menggeser atau mengubah pola titik berat pembangunan dari fokus ekonomi ke berbasis sosial, budaya dan ekologi lingkungan hidup berkelanjutan, tidak mudah.

Keberlanjutan ekologi ini hanya akan dicapai andai benar-benar dilakukan perubahan mendasar dalam kebijakan atau politik hukum negara. Terkait ini, jawaban para capres masih belum terjabarkan dengan komprehensif. Capres petahana mengaku sudah menindak korporasi-korporasi nakal. Namun harus lebih keras lagi agar makin menjerakan.

Adapun capres penantang terkesan belum memiliki garis kebijakan yang jelas dan mendasar berdasarkan fakta serta data yang sudah mengemuka dalam debat tersebut. Pernyataan 'lingkungan untuk rakyat, bukan rakyat untuk lingkungan' belum dielaborasi dengan baik. Padahal, capres penantang sesungguhnya memiliki peluang besar untuk menyerang petahana baik dari sisi kebijakan pencegahan maupun penindakan.

Sebagai hulu garis kebijakan pemerintah sesungguhnya sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Ketentuan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai instrumen hukum baik PP, Perpres, Permen, maupun Perda.

Dalam Pasal 14 UU PPLH diatur dengan jelas mengenai instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup mulai dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), tata ruang, dan baku mutu lingkungan hidup. Kemudian, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, Amdal, UKL-UPL, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan dan anggaran berbasis lingkungan hidup. Ada juga, analisis risiko dan audit lingkungan hidup.

Instrumen KLHS wajib dilakukan pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan terintegrasinya prinsip pembangunan berkelanjutan dalam suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program. Sayangnya, tidak seperti Amdal yang disertai sanksi berat pelanggarannya, UUPPLH ini tidak mencantumkan sanksi apa pun bagi pemerintah pusat atau daerah yang tidak melakukannya.

Minim

Ketiadaan sanksi ini mengakibatkan komitmen pemerintah, khususnya daerah dalam mengakomodasi konsep pembangunan lingkungan berkelanjutan menjadi sangat minim. Dalam perdebatan Minggu malam lalu, harusnya kekosongan hukum ini dijadikan para capres sebagai bagian dari diskresi lima tahun ke depan.

Selain pencegahan kerusakan lingkungan, penegakan hukum juga diperlukan untuk menindak para perusak lingkungan. Konsep pertanggungjawaban mutlak atau sering disebut strict liability bagi pencemar lingkungan harus terus diperkuat. Strict liability ini pertanggungjawaban seketika dan yang membuktikan pencemaran adalah penggugat, bukan tergugat.

Hal ini diatur dalam Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009. Isinya, "Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan."

Teks ini dijelaskan, "Yang dimaksud dengan bertanggung jawab mutlak atau strict liability adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi." Konsep strict liability dalam penegakan hukum lingkungan memang menjadi momok.

Hanya, masih sangat sedikit yang dijerat dengan pasal tersebut. Bahkan beberapa kali ketentuan ini diuji di Mahakmah Konstitusi. Maka, sangat menarik jika capres menegaskan komitmennya agar pasal-pasal tersebut tetap melekat dalam UU PPLH.

Penulis mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UGM, Dosen FH Nommensen

Komentar

Komentar
()

Top