Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Melihat Tokoh Kitab Suci dalam Menyikapi Penderitaan

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Ketika Salib Terasa Berat

Penulis : Dr Josep Susanto, PR

Penerbit : Obor

Cetakan : Maret 2018

Tebal : 177 halaman

ISBN : 978-979- 565-808-5

Tidak banyak orang yang menyadari bahwa penderitaan merupakan pembuka tabir penyekat antara manusia dan Tuhan. Ketidaksadaran tersebut mendorong mereka menghindari penderitaan dengan segala cara. Yesus justru berprinsip bahwa penderitaan merupakan bagian tak terpisahkan dari hidup dan misi-Nya. Dalam Markus 8:34 dengan jelas disebutkan, siapa pun yang ikut Yesus harus siap memikul salib.

Penggunaan kata salib untuk memaknai penderitaan telah menjadi identitas Kristiani karena selaras dengan pengorbanan, perjuangan, dan penderitaan Kristus di kayu salib dalam menebus dosa manusia," tulis Dr Josep Susanto PR, penulis buku (hlm x).

Buku ini terdiri dari 60 kisah tokoh dalam Kitab Suci yang berhasil melewati penderitaan menjadi pencerahan spiritual. Semuanya merupakan penderitaan dengan tensi luar biasa. Dengan melihat ketabahan berhadapan dengan penderitaan tersebut, kita bisa merasa penderitaan yang kita hadapi tidak seberapa sehingga tidak ada alasan untuk patah arang.

Contoh penderitaan Maria, Bunda Yesus. Dalam Kitab Suci digambarkan, Maria berdiri di dekat kayu salib ketika Anak Tercinta dibunuh. Dia bisa menahan penderitaan sebagai seorang ibu dengan satu keyakinan, kematian Yesus tidak sia-sia. Maria tegar karena di balik tetes darah tubuh-Nya adalah pelebur dosa umat manusia.

Yesus berprinsip, penderitaan bagian dari misi-Nya. Di sisi lain, Dia juga berpesan agar umat-Nya berjuang keluar dari penderitaan. "Berjuanglah untuk melalui pintu yang sesak itu. Sebab Aku berkata kepadamu: Banyak orang akan berusaha masuk, tetapi tidak dapat," kata Yesus dalam Lukas 13:24 (hlm 38).

Ketika penderitaan datang bukan berarti Tuhan meninggalkan kita sendirian. Justru dalam pederitaan, Tuhan datang menyertai dan membantu yang terbaik. Mungkin dengan membiarkan masalah tersebut tetap eksis, namun dengan perubahan kesadaran yang signifikan sehingga bisa berdamai dengan penderitaan tersebut. Ini berarti level spritualitasnya meningkat. Jarak dengan Tuhan makin dekat dan tidak pernah membuat takut menderita (hlm 40).

Hanya, ketika penderitaan tidak segera berhenti, padahal sudah maksimal mengobati, banyak yang menduga Tuhan diam, tidak menolong. Ini berarti orang gagal memahami Tuhan. Kisah 10 penderita kusta yang disembuhkan Yesus dalam Lukas 17:11-19 menggambarkan fenomena ini. "Lalu Yesus memandang mereka dan berkata: pergilah. Perlihatkan dirimu kepada imam-imam dan sementara mereka di tengah jalan menjadi tahir." Padahal mereka berharap bisa dipegang, didoakan atau sejenisnya oleh Yesus. Justru Yesus hanya memandang pergi.

Lalu mengapa kemudian mereka bisa sembuh? Ini berkat pandangan Yesus tadi. Sayang, hanya satu orang dari mereka yang menyadari bahwa pandangan-Nya adalah bentuk pertolongan nyata. "Pandangan Yesus ini, meski seolah tidak terlalu tampak, sebenarnya sebuah tindakan luar biasa, " tulis Josep Susanto (hlm 52).

Ada kisah lain, kebaikan orang Samaria, yang sudah menjadi ikon kebaikan dunia, The good Samaritan. Orang Samaria senantiasa bersedia menolong siapa saja yang membutuhkan secara maksimal dengan seluruh tenaga dan harta. Dia tidak menghiraukan identitas dirinya dan orang yang ditolong (hlm 169).

Ini mengajarkan agar kita bersedia menderita demi menolong orang lain. Pertolongan untuk siapa saja, melampaui batas hubungan darah, suku, bangsa, jenis kelamin, atau agama. Karena hanya dengan melepaskan diri dari batas-batas tersebut, kita bisa menjadi sesama dengan siapa pun saja.

Diresensi Muhammad Aminulloh, Alumnus STAI Al Khoziny Buduran, Sidoarjo, Jatim

Komentar

Komentar
()

Top