Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Melihat Keagungan Yesus sebagai Anak Manusia

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Yesus Anak Manusia
Penulis : Kahlil Gibran
Tebal : 314 halaman
Penerbit : Bentang Pustaka
Cetakan : 2017
ISBN : 978-602-291-385-5

Buku ini mengisahkan Perjanjian Baru. Kahlil Gibran menggubahnya dengan narasi sastrawi. Dari seluruh sifat manusiawi yang Kahlil Gibran hadirkan, sama sekali tidak mengurangi rasa hormatnya sebagai seorang Nasrani kepada junjungannya. Kahlil Gibran senantiasa menghadirkan dua sisi berbeda sosok Yesus sejak kecil hingga dewasa.

Satu sisi, sebagai manusia biasa yang bermain seperti anak-anak dan bermasyarakat sebagaimana makhluk sosial. Di bagian lain, Dia memiliki banyak keistimewaan yang membuat banyak orang takjub, bahkan tak mengerti. Anna, nenek Yesus, menuturkan saat Yesus lahir di Nazaret, dia kedatangan tamu dari Parsi. Mengetahui sang tuan rumah punya cucu yang baru lahir, mereka minta izin untuk menengok.

Saat melihat Yesus, mereka lalu bersujud dan menyerahkan pundi-pundi emas, perak, dan wewangian dan meletakkannya di kaki-Nya. Anna takjub melihatnya. Tamu itu berpesan agar melindungi bayi Yesus karena kelak Dia yang akan melindungi umat manusia (hlm 26).

Ketakjuban Anna semakin bertambah seiring kedewaan Yesus. Saat menidurkan-Nya, Dia bilang bahwa raga-Nya saja yang tidur. Jiwanya tidak. Yesus sulit dikuasai. Dia memiliki keinginan dan pendirian yang luar biasa kuat. Anna kewalahan mengurus cucunya itu. Di Nazaret, Yesus menjadi idola karena kebaikannya. Acap kali, makanan yang Anna berikan tidak Yesus cicipi karena keburu Dia berikan kepada orang lain yang lebih membutuhkan.

Dia sering memanjat pohon milik nenek-Nya, mengambil buah, lalu diberikan kepada teman-temannya. Secara fisik Yesus juga kuat. Dia pelari cepat yang kadang mengalah untuk menggembirakan lawan lari-Nya. Maria, ibu Yesus, tentu lebih takjub melihat anaknya. Begitu takjubnya, dia sering termenung melihat keluar jendela. Banyak yang berkecamuk dalam pikirannya. Dia juga tampak "sungkan" berakrab-ria dengan anaknya itu. "Mungkin dia mengetahui apa yang tak aku ketahui. Seandainya dia mengatakan hal itu kepadaku," kata Anna (hlm 28).

Saat Yesus beranjak dewasa, beragam keajaiban makin terlihat. Assaf menuturkan kekuatan orasi Yesus jauh melampaui khotbah orator ulung Roma, Athena, dan Aleksandria. Masyarakat terkesima mendengarnya. Jiwa mereka terserap mengikuti arah pesan Yesus. Dia memberi kisah dan parabel yang belum pernah didengar. Menurut Assaf, dalam kata-kata Yesus ada kekuatan dahsyat yang tidak dimiliki orator mana pun (hlm 31).

Selain orator ulung, Yesus adalah tabib andal. Filemon, tabib kesohor Yunani, menuturkan daya sembuh terapi Yesus dan cara mengobati. Tidak ada penyakit yang tidak bisa Dia sembuhkan, termasuk kematian. Banyak desas-desus Dia mendapat ilmu penyembuhan tersebut. Filemon yakin didapatkan bukan melalui proses belajar, tapi anugerah Bapa (hlm 39).

Hanya dengan sentuhan tangan Yesus, penyakit demam hilang. Badan kaku segera bisa bergerak normal saat bersentuhan dengan tubuh-Nya yang tenang. Dia tidak hanya bisa memahami penyakit dalam tubuh manusia, segenap pasang surut cairan di seluruh tubuh makhluk hidup Dia mengerti. Kendati demikian, Dia tidak pernah menganggap diri tabib, melainkan pemberi kasih.

Kasih-Nya tidak hanya menyembuhkan fisik yang sakit, namun juga memaafkan kesalahan para pendosa. Yesus mengerti, manusia rentan dosa karena lemah. Yesus hadir untuk menguatkan. Kecuali kepada para munafik. Dia selamanya tak bisa memaafkan. "Orang-orang lemah yang kau sebut pendosa seperti anak burung yang belum bersayap yang jatuh dari sarang. Sedangkan si munafik adalah gagak yang bertengger di atas batu menunggu kematian korbannya," kata Yesus (hlm 67).

Buku ini berisi kesaksian diri Yesus dari para tabib, gembala, nelayan, imam, pemerintah hingga pelacur. Mereka bersaksi bahwa Yesus adalah Manusia Agung yang telah menginspirasi mereka untuk berbuat agung pula.

Diresensi Redy Ismanto, Alumnus Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya

Komentar

Komentar
()

Top