Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Tantangan Pers | Media “Mainstream” Harus Berubah

Media Nondaring Tetap Dibutuhkan

Foto : ISTIMEWA

Errol Jonathan, Praktisi Radio.

A   A   A   Pengaturan Font

SURABAYA - Media nondaring tetap dibutuhkan dan tidak perlu pesimistis menghadapi serbuan media daring (online). Syaratnya, media nondaring harus senantiasa beradaptasi terhadap perubahan zaman dan kebutuhan publik. Untuk itu, media nondaring perlu membangun emotional branding, sebagai paradigma yang diterapkan media agar memiliki ikatan emosi dengan publik.

"Emotional branding akan melahirkan keuntungan, antara lain public engadment, public participation, public representative, dan problem solving," kata praktisi radio, Errol Jonathan, dalam diskusi dengan tema Prospek Masa Depan Media yang digelar untuk memperingati Hari Pers Nasional ke-19, di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (6/2).

Menurut Errol, media mainstream harus berubah, tidak bisa memakai cara lama. Gunakan cara revolusioner yaitu konvergensi media. Media online bukan untuk dimusuhi, tapi dikawinkan, sehingga perlahan kedua jenis media itu bisa bertahan.

"Kita juga perlu memikirkan struktur generasi karena mereka yang akan menjadi khalayak media kita ke depan," kata Errol.

Hal senada disampaikan praktisi media daring, Budiono Darsono. Menurut dia, media nondaring dapat bertahan bahkan meningkat, selama mau beradaptasi dengan pasar. Dia mencontohkan surat kabar asal AS, New York Times, yang diramalkan akan tutup, kini memiliki nilai perusahaan yang fantastis karena juga membuat versi daring.

Lakukan Inovasi

Budiono menjelaskan harga langganan versi online New York Times sampai empat dollar AS per bulan dan nilai sahamnya terus naik. Majalah The Economist juga melakukan inovasi dengan memberi majalah gratis bagi yang berlangganan versi online.

"Sementara media online Buzzfeed yang diramalkan menghabisi media kuno justru merosot luar biasa karena hanya memberitakan hal viral bukan jurnalistik. Pelajaran berharga bagi semua media, tidak boleh tergesa mengambil kesimpulan," ujar Budiono.

Media daring yang sedang digemari tidak boleh lengah dan terus melakukan inovasi. Salah satunya, tambah Budiono, dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih seperti kecerdasan buatan.

"Hal ini telah dilakukan Toutiao dari Tiongkok, yang kini menjadi perusahaan media bernilai termahal di dunia, 70 milliar dollar AS. Pembaca akan otomatis mendapat sajian jenis berita sesuai yang sering dia klik, dan segala sesuatu mulai iklan yang berhubungan dengan jenis berita itu.

Pengamat dari Indonesia Media Watch, Agus Sudibyo, mengatakan tren media sosial tidak dapat ditolak karena merupakan keniscayaan yang hidup dalam masyarakat, namun media jurnalistik tetap bisa bertahan dan dibutuhkan di masa mendatang. Hal itu terjadi karena media sosial tidak hanya berisi berita yang akurat, namun juga ada hoaks dan ujaran kebencian.

"Dalam menghadapi media sosial, media jurnalistik harusnya menyajikan sesuatu yang lebih baik dan bisa dipercaya," kata Agus.

Pergeseran perilaku masyarakat dalam konsumsi media, dari media arus utama ke media sosial menjadi perhatian para insan pers. Saat ini, tambah Agus, belanja iklan perusahaan-perusahaan besar telah banyak yang dialihkan ke media sosial. Kondisi tersebut diperkirakan akan semakin deras pada masa mendatang.

Agus mengingatkan dalam mengendalikan sisi negatif media sosial, media jurnalistik harusnya menyajikan sesuatu yang lebih baik. Apa yang sudah ada media sosial tidak perlu digarap. Yang tidak ada, digarap yaitu informasi, wacana, dan berita yang lebih lengkap.

Menurut Agus, tantangan perusahaan media arus utama saat ini tidak hanya berasal dari media sosial, namun juga kondisi masyarakat yang mulai meninggalkan media cetak, radio, dan elektronik, beralih ke media daring. SB/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top