Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Komoditas Pertanian - Indonesia Bisa Terjebak ke dalam "Food Trap" atau Jebakan Pangan

Mafia Pangan di Balik Lonjakan Impor di Kuartal I-2021

Foto : BPS, Kemendag - Litbang KJ/and - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Eksportir bekerja sama dengan para pemburu rente sengaja ingin mematikan petani dalam negeri.

Impor garam pada kuartal I-2021 tercatat 379.910 ton atau naik 19,60 persen dibanding kuartal I-2020.

JAKARTA - Tingginya impor pangan pada kuartal I-2021 patut ditengarai sebagai bagian dari upaya para mafia impor merusak harga produk dalam negeri dan pada akhirnya menguntungkan mereka karena terus melanggengkan aktivitas perburuan rente tersebut.

Pakar Pertanian dari Universitas Trunojoyo Madura, Ihsannudin, mengatakan fenomena kenaikan impor pada tiga bulan pertama tahun ini patut dipertanyakan, terutama dengan pernyataan stok akhir tahun yang menipis sebagai dasar untuk melakukan impor.

"Pelaksanaan impor garam pada periode awal harus disikapi dengan ekstra hati-hati terkait asesmen stok. Mengingat ini telah memasuki musim kemarau yang tak berapa lama ke depan masa panen garam rakyat tiba. Jangan sampai impor yang dilakukan periode ini menjadi sumber petaka hancurnya harga garam rakyat," kata Ihsannuddin, Minggu (23/5).

Sementara itu, Pengamat Pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran, Jawa Timur, Surabaya, Zainal Abidin, mengatakan impor yang merajalela merupakan bagian jaringan negara tertentu yang ingin melumpuhkan perekonomian nasional.

"Ada skenario dari negara yang pertaniannya maju untuk membunuh sektor pertanian di negara-negara berkembang. Pertanian adalah masalah mendasar yang melibatkan hajat hidup orang banyak, sehingga bila lumpuh, otomatis perekonomian ikut jatuh. Upaya ini juga melibatkan mafia-mafia pangan dalam negeri, yang selama ini hanya berprinsip directly unproductive profit seeking, atau mencari keuntungan semata," kata Zainal.

Negara-negara maju, jelasnya, sengaja menjual lebih murah hasil pertaniannya yang diekspor, ketimbang di dalam negerinya. Hal itu dilakuan untuk mematikan petani di negara tujuan ekspornya.

"Pemerintah harus lebih ketat melakukan pengawasan karena spekulan-spekulan ini banyak melakukan penimbunan. Pemerintah juga harus mendorong lahirnya lumbung desa dengan mekanisme first in first out untuk menjaga ketercukupan," katanya.

Sangat Berbahaya

Sebelumnya, Anggota Komisi IV-DPR, drh Slamet, mengatakan impor komoditas pangan pada kuartal I-2021 meningkat tajam dibanding periode yang sama tahun 2020. Impor garam naik 19,60 persen menjadi 379.910 ton, gula melonjak 42,96 persen menjadi 1,93 juta ton, sedangkan kedelai naik 22,43 persen menjadi 699.730 ton dan bawang putih meroket 165,23 persen menjadi 53.536,9 ton.

"Secara kumulatif impor pada kuartal I-2021 tercatat 379.910 ton atau naik 19,60 persen dibanding kuartal pertama 2020 yang tercatat sebanyak 317.642 ton," kata Slamet.

Kondisi tersebut, jelasnya, sangat berbahaya karena pangan dalam sudut pandang yang lebih luas berkaitan dengan kemampuan pertahanan dan keamanan serta kedaulatan suatu negara.

"Dikhawatirkan Indonesia akan terjebak ke dalam food trap atau jebakan pangan sebagai bentuk penjajahan gaya baru," kata Slamet.

Sementara itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, menilai pembentukan badan pangan nasional dibutuhkan untuk menangani kompleksnya permasalahan pangan di Indonesia.

Badan Pangan Nasional, jelasnya, penting agar masalah terkait tata kelola pangan di Indonesia ditangani secara holistic. Permasalahan administrasi dan birokrasi masih menjadi momok, termasuk impor.

Sebelumnya, peneliti Ekonomi dari Indef, Nailul Huda, mengatakan Badan Panganlah yang akan memutuskan tanaman berkualitas yang harus diproduksi dalam tiga tahun ke depan, sehingga impor bisa dihapus. Misalnya kedelai atau gula nasional dari tebu ditambah produksinya dua juta ton dalam tiga tahun terakhir. Begitu juga dengan pemanfaatan umbi-umbian menjadi Mocaf (modified cassava flour) sebagai alternatif pengganti tepung terigu. Kemudian, ikan laut dan air tawar untuk meningkatkan gizi.

"Target ini harus ada yang melaksanakan, dan semua departemen harus dikonsolidasikan," kata Nailul.

Dikatakan, sulit untuk membangun kemandirian pangan jika Mendag begitu menjabat langsung berpikir impor. Semestinya Mendag amanatnya ekspor, bukan impor. Dia harus duduk bersama rakyat memikirkan bagaimana agar rakyat bisa makan tanpa harus impor. Dengan kewenangannya bisa mengeluarkan insentif untuk ekspor dan disinsentif bagi impor.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top