Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

MA Diminta Kabulkan PK Kasus Tanah Adat di Rantepao

Foto : Istimewa

Sekitar 100 mahasiswa Toraja dari sejumlah wilayah menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Mahkamah Agung (MA), Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (28/7).

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sekitar 100 mahasiswa yang tergabung dalam aliansi mahasiswa Toraja seluruh Indonesia bersama warga asal Toraja di Jabodetabek menggelar aksi unjuk rasa di kantor Mahkamah Agung (MA), Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa (28/7).

Mereka menyampaikan pernyataan sikap atas kasus tanah adat SMA Negeri 2 dan Lapangan Gembira Rantepao yakni meminta MA mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) dengan mengembalikan tanah adat tersebut kepada masyarakat yang selanjutnya terus dimanfaatkan sebagai fasilitas pelayanan publik termasuk SMA Negeri 2 Rantepao, Puskesmas, dan Telkomsel.

Para mahasiswa Toraja tersebut dalam siaran persnya secara bergantian menyampaikan orasi di depan halaman MA sehingga menarik perhatian masyarakat yang melintasi Jl Medan Merdeka Utara itu.

Mereka mengenakan pakaian adat dan sebagian lainnya berkostum hitam tanda berkabung dan protes keras atas putusan MA yang berimplikasi akan dirampasnya tanah adat Lapangan Gembira dan SMA Negeri 2 Rantepao, Toraja Utara oleh pihak dari luar masyarakat adat Toraja.

Para mahasiswa tersebut menggelar atraksi ma'badong, sebuah tari yang biasanya dilakukan saat kematian. Tari tersebut merupakan simbol duka atas matinya keadilan dan hukum di lembaga MA sebagai benteng terakhir keadilan di Indonesia.

Menurut Lois Banne Noling, perwakilan mahasiswa Toraja dari Manado, tari ma'badong lazimnya digelar saat pesta orang mati di Toraja, tetapi sebagai simbol kedukaan masyarakat Toraja. Para mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia tersebut sengaja menggelar tari ma'badong. Masyarakat Toraja berduka atas putusan MA.

Para mahasiswa Toraja yang berasal dari berbagai daerah tersebut seperti Jakarta, Yogyakarta, Toraja, Makassar, dan Manado, Papua, Kalimantan. Mereka, antara lain Tino Heidel Ampulembang (Samarinda), Arfa Tangdilian (Toraja), Rahman Sampe Bangun (Kendari), Kevin Candra Kristian Bimbin, Didi Kurniawan, dan Muhammad Yogi Saputra (Yogyakarta), Lois Banne Noling dan Risman Marten Parinding (Manado), Kevin William Datu Kelali (Papua), dan sejumlah mahasiswa asal Toraja di Jabodetabek.

Di antara mereka hadir Kepala SMA Negeri 2 Rantepao, Yuliaus Lamma Bangke dan Ketua Ikatan Alumni SMA Negeri 2 Rantepao Wilayah Jabodetabek Imanuel Kala. Sementara itu, hadir pula sesepuh masyarakat Toraja Samuel Parantean Penasihat Perhimpunan Masyarakat Toraja Indonesia (PMTI), Pither Singkali Ketua Bidang Hukum PMTI dan juga Ketua Gertak sekaligus pengacara Pemda Toraja Utara.

Mereka menuntut Polri segera mengusut tuntas Laporan Polisi LBP/203/X/2018/SPKT terkait Tindak Pidana Pemalsuan Dokumen (Pasal 263 KUHP) terkait perkara tersebut. Sebab, diduga keras sejumlah pihak telah memalsukan dokumen dan ada saksi yang memberikan keterangan palsu.

Mahasiswa Toraja meminta Komisi Yudisial untuk segera menyelidiki perkara Sengketa Lapangan Gembira dan memeriksa para hakim yang terlibat dalam mengadili Perkara Sengketa Lapangan Gembira mulai dari tingkat pengadilan negeri, hakim pengadilan tinggi hingga hakim agung di MA. Mereka juga mendesak Komisi III DPR untuk segera memanggil pihak terkait dalam kasus tanah adat tersebut, karena diduga keras terjadi praktik peradilan sesat.

Aksi tersebut berkaitan dengan sengketa lahan adat "Rante Menduruk" di Kabupaten Toraja Utara yang kini masuk dalam tahap Peninjauan Kembali (PK). Lahan seluas 3.000 m2 tersebut awalnya adalah milik masyarakat adat yang dihibahkan kepada pemerintah untuk penyediaan fasilitas layanan publik seperti sekolah, gedung olahraga, puskesmas, dan sejumlah kantor milik pemerintah.

Dalam perkembangannya lahan tersebut kemudian diklaim dan digugat oleh pihak lain (Mohamad Irfan CS) dari luar masyarakat hukum adat Toraja dengan menempatkan pemerintah sebagai tergugat. Pemda Toraja Utara bersama masyarakat adat bersama pemerintah telah 3 kali "kalah" dalam proses persidangan mulai dari tingkat pengadilan negeri di Makale, Tana Toraja, Pengadilan Tinggi di Makassar, dan pada tingkat kasasi di MA melalui Putusan Kasasi No.718 K/Pdt/2019 tanggal 12 Juni 2019. Saat ini upaya yang ditempuh untuk mendapatkan keadilan adalah dengan mengajukan Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum terakhir.

Masyarakat adat tidak pernah merasa menjual lahan tersebut kepada pihak manapun. Karena itu, elemen masyarakat Toraja terutama mahasiswa menduga keras ada sejumlah keganjilan atau praktik peradilan sesat dalam putusan tersebut, terutama dalam konteks penerapan hukum sehingga perlu mengawalnya dalam bentuk advokasi non litigasi. mar/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Marcellus Widiarto

Komentar

Komentar
()

Top