Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Literasi Keluarga di Era Digital

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

oleh lita lestianti

Hari Buku Nasional, 17 Mei, mengingatkan perjalanan budaya literasi Indonesia. Ketika zaman penjajahan, sebenarnya sudah banyak tokoh menulis buku. Hanya, masyarakat masih banyak buta huruf. Sekitar 20 tahun silam, di daerah Kalimantan, mungkin juga pulau-pulau lain, akses masyarakat terhadap buku masih rendah.

Selain sebagian masyarakat masih kurang berminat dan harganya, kegiatan-kegiatan literasi masih belum banyak baik di rumah maupun sekolah. Penyediaan bahan bacaan pun tidak banyak. Mungkin inilah yang membuat minat baca masyarakat rendah.

Ketika akses internet begitu mudah, literasi digital semakin berkembang. Harusnya minat baca juga berubah besar karena masyarakat bisa membeli e-book secara murah. Mengunjungi bazar buku bisa menjadi salah satu cara mendapat buku murah. Jika tidak ingin mengeluarkan uang, masih bisa mengunjungi Taman Bacaan Masyarakat atau perpustakaan daerah.

Untuk meningkatkan minat baca, sejak tahun 2016, Badan Bahasa Kemdikbud sudah menyediakan bahan bacaan gratis untuk anak-anak dan bisa diunduh di laman Badan Bahasa. Pemerintah juga telah menciptakan aplikasi Ipusnas untuk semua usia pembaca. Aplikasi perpustakaan digital itu sangat memudahkan warga meminjam buku, tanpa harus keluar rumah.

Masih banyak aplikasi baca buku yang bisa diunduh secara gratis di Play Store atau App Store seperti Let's Read. Ini sebuah aplikasi buku cerita bergambar untuk anak-anak pembaca awal yang dikelola The Asia Foundation. Namun, rupanya masih ada rakyat yang belum mengetahui aplikasi tersebut, sehingga budaya literasi bangsa belum berubah signifikan.

Padahal jika dilihat, warga hampir sebagian besar mempunyai telepon seluler dan terkoneksi internet. Sayangnya, banyak yang belum memanfaatkan internet untuk mengakses e-book atau mengunduh aplikasi baca buku tersebut. Menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, pengguna internet tahun 2016 mencapai 132,7 juta. Sayangnya, yang paling sering diakses konten hiburan menonton film sebesar 41 persen, bukan untuk mengunduh e-book.

Berdasarkan data itu, benar saja jika minat baca dan literasi bangsa masih perlu perhatian serius. Dilihat dari hasil skor asesmen Aksi Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) Indonesia National Assessment Programme (INAP), kemampuan literasi membaca hanya 46,83 persen. Kemudian, matematika 77,13 persen dan sains 73,61 persen.

Hasil skor secara tidak langsung berpengaruh terhadap produksi buku. India memproduksi sekitar 90.000 judul buku per tahun. Indonesia hanya 28.000 judul. Jumlah buku tersebut tentu masih kurang untuk memenuhi kebutuhan baca masyarakat Indonesia. Urgensi literasi membuat Kemdikbud menyelenggarakan program Gerakan Literasi Nasional (GLN). Salah satu bentuknya, penyediaan bahan bacaan berunsur lokal.

Bahkan sejak 17 Mei 2017, ketika Presiden Joko Widodo membuat kebijakan pengiriman buku gratis ke seluruh daerah melalui kantor pos, banyak komunitas literasi maupun masyarakat memanfaatkan program ini untuk berdonasi buku ke TBM-TBM yang terdaftar di Kemdikbud tiap tanggal 17. TBM di beberapa daerah sangat membantu memenuhi kebutuhan buku.

Sayang, distribusi-distribusi buku bantuan ke TBM kurang merata. Ini mmebuat buku di TBM pelosok tidak bertambah, sehingga anak yang rajin ke TBM pun akhirnya malas karena bukunya sudah habis terbaca. Meski ada program pengiriman buku gratis, rasanya kurang komprehensif mencapai tujuan peningkatan literasi. Paling menyedihkan, jika suatu daerah tidak memiliki TBM dan akses internet.

Tak Berjalan

Pelaksanaan GLN tidak berjalan baik jika tanpa keterlibatan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dia bisa berjalan jika diawali dari keluarga. Orang tua berperan utama mengajak anak membaca buku ataupun membuat permainan literasi yang menyenangkan. Masih banyak Masih banyak keluarga belum menjalankan literasi dengan baik.

Itulah alasan perlu peran sekolah dan warga dalam mewujudkan literasi dalam keluarga. Misalnya, mengenalkan anak-anak pada kegiatan di TBM, perpustakaan, maupun membacakan cerita-cerita saat di rumah melalui buku atau aplikasi baca gratis. Jika anak belum sekolah, komunitas literasi bisa menyelenggarakan kegiatan dan mengajak mereka berpartisipasi.

Tujuannya agar literasi keluarga bisa terwujud. Begitu juga dengan warga di pelosok daerah yang tidak memiliki TBM dan akses internet, peran sekolah sangat penting untuk mendorong keluarga melaksanakan literasi dalam keluarga.

Di sisi lain, kegiatan literasi keluarga tidak hanya sampai di situ. Kegiatan literasi keluarga dengan anggota yang difabel tentu berbeda lagi. Penyelenggaraan literasi dalam keluarga difabel berbeda pada keluarga normal. Penyediaan buku braille masih sangat jarang, sehingga membuat pelaksanaan literasi keluarga tuna netra cukup sulit.

Bisa dikatakan GLN belum berhasil jika para penyandang disabilitas tidak mendapat fasilitas untuk mengakses bahan bacaan-bahan bacaan. Apalagi jumlah penyandang tuna netra mencapai sekitar satu juta. Di beberapa daerah, minat baca tuna netra didukung fasilitas pojok braille.

Ribuan buku dan materi berbentuk audio disediakan untuk menambah wawasan. Di Bandung, perpustakaan braille bernama Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) Abiyoso terbaik untuk khusus penyandang tuna netra. Dia menyediakan buku cerita dalam bentuk braille. BPBI menyediakan sekitar 4.000 buku braille dengan bermacam kategori mulai dari novel, cerita dan umum.

Harapannya, pemerintah tidak hanya fokus dalam penyediaan bahan bacaan bagi masyarakat biasa dan mengesampingkan difabel. Fasilitas baca untuk masyarakat difabel sangat perlu agar mereka tidak semakin merasa tersisihkan. Dengan peningkatan literasi kaum difabel, setidaknya memberi ruang pikir mereka untuk berkreasi. Dengan begitu, program GLN dapat berjalan baik untuk kaum difabel maupun biasa. Penulis Lulusan S2 Planologi Universitas Diponegoro

Komentar

Komentar
()

Top