Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
purbayaRamah Anak

Lindungi Hak Anak dalam Pemberitaan

Foto : koran jakarta/Gemma f purbaya
A   A   A   Pengaturan Font

Di tengah semakin luas, beragam dan derasnya arus informasi, pemberitaan yang terkait dengan anak di Indonesia seringkali menjadikan anak sebagai korban, objek eksploitasi dan diungkapkan identitasnya.

Wajah, inisial, nama, alamat serta sekolah baik disengaja maupun tidak, sering terungkap identitasnya, ketika terjadi kasus yang menyangkut anak, sehingga anak tidak terlindungi dengan baik. Bahasa pemberitaan terkait anak juga terkadang menggunakan bahasa yang kasar dan vulgar. Belum lagi media penyiaran kerap kali menampilkan sosok anak yang disamarkan menggunakan topeng atau diblur wajahnya, meskipun masih bisa dikenali ciri-cirinya.

Untuk mengatasi akan hal itu Dewan Pers bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A) mensosialisasikan pedoman pemberitaan ramah anak. Pemberitaan ramah anak ini bertujuan untuk mendorong komunitas pers menghasilkan berita yang bernuansa positif, berempati dan bertujuan melindungi hak, harkat dan martabat anak, anak yang terlibat persoalan hukum atau tidak, baik anak sebagai pelaku, saksi atau korban.

"Berbagai isu tengah dihadapi terkait pemenuhan hak anak, bagaimana menyediakan informasi yang layak bagi anak karena dengan kondisi sekarang sangat cepat menerima informasi. Sehingga perlu dibanjiri dengan informasi yang layak dan memberikan inspirasi," kata Indra Gunawan, Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KP3A dalam acara Sosialisasi Pedoman Pemberitaan Ramah Anak di Jakarta, beberapa saat lalu.

Ia menambahkan dalam UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sudah disebutkan bahwa anak-anak yang menjadi korban tindak pidana harus mendapatkan perlindungan dan dirahasiakan karena bisa berdampak pada anak itu sendiri, keluarga dan masa depannya.

"Anak memiliki masa depan yang masih panjang. Mereka masih perlu kehidupan sosial dan bermasyarakat serta mengenyam bangku pendidikan. Sementara jika mereka tidak mendapatkan perlindungan dan tidak dirahasiakan identitasnya, dapat berdampak pada pem-bully-an yang berimbas pada masalah lainnya," ujarnya.

Pada pemberitaan ramah anak, ada banyak butir yang perlu diperhatikan. Namun poin yang paling ditekankan adalah merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.

Termasuk anak korban, anak saksi hingga anak pelaku. Berpedoman pada hal itu, Henry Ch Bangun, Wakil Ketua Dewan Pers mengatakan adanya undang-undang, pedoman dan aturan tersebut tidak hanya bertujuan untuk melindungi hak anak semata, melainkan juga untuk melindungi para pewarta.

"Tujuan pembuatan pedoman ini agar media dan wartawan terhindar dari tindak pidana penjara lima tahun dan denda 500 juta rupiah yang disengaja maupun tidak membocorkan identitas anak tersebut," katanya.

Untuk itu, apabila ingin memberitakan kasus mengenai anak dapat menggunakan inisial nama dan hanya sampai ke identitas kecamatan tempat yang bersangkutan tinggal.

Maka dari itu, Henry mengharapkan pemberitaan mengenai anak tidak hanya untuk viral, klik atau jumlah view saja. "Membuat berita harus dari sudut pandang untuk melindungi. Semisalnya terjadi kasus pemerkosaan biar sejarah yang mencatat, jangan kronologis, detailnya atau kejahatan seksualnya. Jangan mengeksploitasi. Anak itu sebagai generasi penerus harus dilindungi dari berita negatif agar dapat tumbuh normal dan tidak terkena trauma akibat pemberitaan," tambahnya. gma/R-1

Pentingnya Polisi Siber

Namun yang kerap menjadi masalah adalah dari media sosial yang masih saja menyebarluaskan mengenai identitas anak yang sudah dirahasiakan media. Seperti beberapa saat lalu, ketika menjadi viral sebuah berita terkait tersebarnya video tak senonoh anak di bawah umur asal Banyuwangi. Media memberitakan hal itu tanpa membocorkan sama sekali identitas pasangan tersebut.

Tetapi sayangnya, berita itu menjadi viral di berbagai platform sosial media (sosmed) hingga akhirnya identitas keduanya diketahui publik. Akun sosmed pasangan itu diburu netizen dan dihujat habis-habisan karena video itu. Menanggapi hal itu, Nasar, Deputi Perlindungan Anak KP3A mengatakan penyebar atau yang memprovokasi identitas anak tersebut bisa ditindaklanjuti ke jalur hukum karena berpengaruh akan masa depan anak bersangkutan.

Ia menambahkan, pentingnya ada cyber police untuk merekam jejak digital para pelaku yang melakukan hal itu di sosial media.

"Untuk itu diperlukan adanya polisi yang memiliki rekam jejak digital sehingga bisa ketahuan yang memprovokasi di sosmed. Sehingga motifnya bisa ketahuan dan bisa ada sanksi pidananya," tuturnya. gma/R-1

Terapkan Aturan Bermain Gawai

Tidak dipungkiri, anak-anak semakin hari semakin sering menggunakan gawainya, namun tidak semua orang tua dapat mengontrol keseimbangan anak dalam menggunakan gawainya, terlebih jika kedua orang tuanya bekerja.

Menurut penelitian dari Internet Matters, 47 persen orang tua peduli dengan jumlah waktu yang anaknya gunakan ketika berselancar di internet, sementara 56 persen merasa bahwa anak-anaknya bermain gawai jauh lebih sering dibandingkan mereka.

Gawai pintar memang memiliki banyak keuntungan bagi anak-anak. Selain menyenangkan, gawai juga bisa membantu mereka belajar dan memperoleh informasi dari seluruh dunia. Namun dampak negatifnya adalah bisa mengganggu tidur dan terus terjaga.

Belum lagi untuk anak-anak yang memasuki usia sekolah, mereka menjadi mengabaikan tugas sekolah, menghabiskan waktu lebih banyak di dalam ruangan, hanya menatap layar gawai seharian sehingga penglihatan dapat terganggu, serta kehilangan interaksi sosial secara langsung.

Untuk itu, Internet Matters pun merekomendasikan kepada orang tua untuk melakukan beberapa cara agar anak terhindar dari kecanduan gawai. Pertama, berikan contoh yang baik. Anak merupakan refleksi perilaku orang tua. Sudah seharusnya juga sebagai orang tua memberikan contoh yang baik agar anak dapat menirunya.

Kedua, berdiskusi. Diskusikan bersama dengan seluruh anggota keluarga, berapa batas waktu untuk bermain gawai. Melalui itu, anak bisa belajar bertanggung jawab dan disiplin mengenai batasan yang orang tua ciptakan. Beritahu juga platform apa saja yang boleh anak akses dan jelaskan kenapa boleh dan tidak boleh digunakan. Ini untuk menghindari konten-konten yang belum boleh dilihat anak dan informasi tidak benar.

Ketiga, jangan terlalu melarang dan membatasi anak tanpa alasan yang jelas. Anak-anak memiliki keingintahuan yang tinggi, sehingga larangan dan batasan yang orang tua berikan cenderung membuatnya ingin melakukan hal itu. Opsinya, berikan pilihan lain dan jelaskan pada anak kenapa mereka tidak boleh melakukan hal itu. gma/R-1

Komentar

Komentar
()

Top