Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus

Larangan Ekspor Beras India: Filipina dan Indonesia Paling Rentan

Foto : Istimewa

Produksi beras di India telah turun 5,6 persen YoY pada September karena curah hujan monsun di bawah rata-rata, yang mempengaruhi panen.

A   A   A   Pengaturan Font

TOKYO - India, pengekspor beras terbesar di dunia, telah melarang pengiriman beras pecah, sebuah langkah yang akan bergema di seluruh Asia, menurut perusahaan jasa keuangan Jepang, Nomura.

Dalam upaya untuk mengendalikan harga domestik, pemerintah melarang ekspor beras pecah dan mengenakan pajak ekspor 20 persen untuk beberapa jenis beras mulai 9 September.

'Ddampaknya terhadap Asia tidak akan merata, dan Filipina dan Indonesia akan paling rentan terhadap larangan tersebut" kata Nomura, baru-baru ini.

India menyumbang sekitar 40 persen dari pengiriman beras global, mengekspor ke lebih dari 150 negara. Reuters melaporkan, ekspor India mencapai 21,5 juta ton pada tahun 2021. Itu lebih dari total pengiriman dari empat eksportir biji-bijian terbesar berikutnya - Thailand, Vietnam, Pakistan dan Amerika Serikat.

"Tetapi produksi telah menurun sebesar 5,6 persen tahun-ke-tahun pada 2 September mengingat curah hujan monsun di bawah rata-rata, yang mempengaruhi panen," kata Nomura.

"Untuk India, Juli dan Agustus adalah bulan paling penting untuk curah hujan, karena mereka menentukan berapa banyak beras yang ditaburkan," kata kepala ekonom Nomura Sonal Varma.

" Tahun ini, pola hujan monsun yang tidak merata selama bulan-bulan tersebut telah mengurangi produksi," tambahnya.

Menurutnya, negara-negara bagian India penghasil beras besar seperti Benggala Barat, Bihar dan Uttar Pradesh menerima curah hujan 30 persen hingga 40 persen lebih sedikit.

"Meskipun curah hujan meningkat menjelang akhir Agustus, semakin terlambat penaburan (beras), semakin besar risiko bahwa hasil panen akan semakin rendah," ujar dia.

Awal tahun ini, negara Asia Selatan itu membatasi ekspor gandum dan gula untuk mengendalikan kenaikan harga lokal karena perang Rusia-Ukraina mengirim pasar pangan global ke dalam kekacauan.

Paling terpengaruh

Pemerintah India baru-baru ini mengumumkan bahwa produksi beras selama musim monsun Barat Daya antara Juni dan Oktober bisa turun 10 hingga 12 juta ton. Nomura mengatakan, itu menyiratkan bahwa hasil panen bisa turun sebanyak 7,7 persen YoY,.

"Dampak larangan ekspor beras oleh India akan dirasakan baik secara langsung oleh negara-negara yang mengimpor dari India maupun secara tidak langsung oleh seluruh importir beras, karena berdampak pada harga beras global," demikian laporan Nomura yang dirilis belum lama ini.

Temuan dari Nomura mengungkapkan bahwa harga beras tetap tinggi tahun ini, dengan kenaikan harga di pasar eceran mencapai sekitar 9,3 persen YoY pada Juli, dibandingkan dengan 6,6 persen pada 2022. Inflasi harga konsumen (CPI) beras juga melonjak 3,6 persentahun-ke-tahun pada Juli, naik dari 0,5 persen pada 2022.

"Filipina, yang mengimpor lebih dari 20 persen kebutuhan konsumsi berasnya, adalah negara di Asia yang paling berisiko terhadap harga yang lebih tinggi," kata Nomura.

Sebagai importir bersih komoditas terbesar di Asia, beras dan produk beras menyumbang 25 persen dari keranjang CPI makanan negara, bagian tertinggi di kawasan ini, menurut portal data dan statistik dari Jerman, Statista.

Inflasi di negara itu berada pada 6,3 persen pada bulan Agustus, data dari Otoritas Statistik Filipina menunjukkan - di atas kisaran target bank sentral 2 persen hingga 4 persen. Mengingat hal itu, larangan ekspor India akan menjadi pukulan tambahan bagi negara Asia Tenggara itu.

Demikian pula, larangan ekspor beras India akan merugikan Indonesia juga. Indonesia kemungkinan akan menjadi negara kedua yang paling terkena dampak di Asia.

Nomura melaporkan bahwa Indonesia mengandalkan impor untuk 2,1 persen dari kebutuhan konsumsi berasnya. Dan nasi membentuk sekitar 15 persen dari keranjang CPI makanannya, menurut Statista.

Namun, untuk beberapa negara Asia lainnya, mungkin berdampak minimal.

Singapura mengimpor semua berasnya, dengan 28,07 persen di antaranya berasal dari India pada 2021, menurut Trade Map.

"Tetapi negara ini tidak rentan seperti Filipina dan Indonesia karena pangsa beras di keranjang CPI [negara] cukup kecil," kata Varma.

Konsumen di Singapura cenderung menghabiskan "sebagian besar" dari pengeluaran mereka untuk layanan, yang biasanya terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi, katanya. Sebaliknya, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah "cenderung menghabiskan sebagian besar pengeluaran mereka untuk makanan".

"Kerentanan perlu dilihat dari perspektif dampak pengeluaran bagi konsumen dan seberapa tergantung negara pada bahan makanan impor," tambahnya.

Negara yang akan diuntungkan

Di sisi lain, beberapa negara dapat menjadi penerima manfaat. Thailand dan Vietnam kemungkinan besar akan mendapat untung dari larangan India, kata Nomura. Itu karena mereka adalah pengekspor beras terbesar kedua dan ketiga di dunia, menjadikannya alternatif yang paling mungkin bagi negara-negara yang ingin mengisi kesenjangan.

Total produksi beras Vietnam adalah sekitar 44 juta ton pada tahun 2021, dengan ekspor menghasilkan 3,133 dokar AS miliar, menurut sebuah laporan yang diterbitkan pada bulan Juli oleh perusahaan riset Global Information.

Data Statista menunjukkan Thailand memproduksi 21,4 juta ton beras pada 2021, meningkat 2,18 juta ton dari tahun sebelumnya.

Dengan peningkatan ekspor, dan larangan India yang memberikan tekanan pada harga beras, nilai ekspor beras secara keseluruhan akan meningkat dan kedua negara ini akan diuntungkan.

"Siapa pun yang saat ini mengimpor dari India akan mencari untuk mengimpor lebih banyak dari Thailand dan Vietnam," kata Varma.


Redaktur : Selocahyo Basoeki Utomo S
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top