Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Teror Bom Bali

Kuasa Hukum Berharap Hambali Bisa Disidangkan di Indonesia

Foto : Dok Kantor Pembela Umum Federal AS via AP/BenarNe

Encep Nurjamen (alias Hambali) ditampilkan dalam foto tak bertanggal ini di penjara AS, Guantanamo, Kuba.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Proses peradilan Encep Nurjaman atau Hambali, terduga dalang aksi teror bom Bali yang sejak 2006 mendekam di penjara Guantanamo, harus dilakukan di Indonesia. Hal itu disampaikan pengacaranya menyusul munculnya keputusan militer AS untuk segera mengadili Hambali dan dua rekannya asal Malaysia.

Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS) pada Kamis (21/1) waktu setempat mengumumkan bahwa Kantor Komisi Militer telah memutuskan untuk segera menyidangkan Hambali, 57 tahun, mantan pimpinan Jemaah Islamiyah (JI), dan dua warga Malaysia, Bashir Lap (alias Lillie) dan Mohd Farik Bin Amin (alias Zubair), yang selama 15 tahun terakhir mendekam di penjara militer AS di Guantanamo atas keterlibatan dalam kasus terorisme.

Dalam tuduhannya, Hambali, laki-laki asal Cianjur, Jawa Barat, dan kedua rekannya itu disebut telah merencanakan, membantu dan bersekongkol dalam aksi serangan bom Bali pada 2002 yang menewaskan 202 orang dan pemboman Hotel JW Marriott di Jakarta pada 2003 dengan korban 12 orang meninggal.

"Ketiganya menghadapi delapan dakwaan yaitu konspirasi, pembunuhan, percobaan pembunuhan, dengan sengaja menyebabkan luka serius, terorisme, penyerangan warga sipil, penyerangan obyek sipil, dan perusakan properti," demikian menurut lembar dakwaan yang diajukan dalam rilis berita Pentagon.

Rilis berita tersebut mengatakan bahwa dakwaan yang tidak dipidana hukuman mati tersebut sedang menunggu keputusan.

Ron Flesvig, juru bicara Kantor Otoritas Penyelenggara Komisi Militer AS, mengatakan peraturan mengharuskan persidangan dilakukan dalam 30 hari setelah rujukan.

Ahmad Michdan, ketua tim pengacara Hambali, mengaku pihaknya belum menerima informasi resmi perihal persidangan kliennya tersebut.

"Sementara ini menurut hemat saya belum ada kebijakan resminya (persidangan) akan seperti apa. Kita memang ada negosiasi, kita inginnya ekstradisi saja," kata Michdan melalui sambungan telepon dengan BenarNews, Jumat (22/1).

"Tampaknya militer AS tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan Hambali, meskipun kami telah membahas bahwa persidangan tidak boleh dilakukan di sana," tegasnya.

Juru bicara Kemlu, Teuku Faizasyah, mengatakan pemerintah belum menerima informasi resmi perihal rencana persidangan tersebut.

"Saya ada membaca hal itu dari sumber terbuka, media, dan masih mengumpulkan informasi lebih lanjut," kata Faizasyah melalui pesan singkat dengan BenarNews, Jumat.

Pejabat Indonesia telah mengindikasikan empat tahun yang lalu bahwa jika Hambali dibebaskan, mereka akan enggan menerima pemulangannya karena takut kembalinya dia dapat memicu kebangkitan sel-sel teror di dalam negeri.

Negosiasi Persidangan

Hambali dan kedua warga Malaysia, Lillie dan Zubair, ditangkap di Thailand pada Agustus 2003, sekitar sepuluh bulan setelah bom Bali 2002. Setelah penangkapan, ketiganya dikirim ke jaringan penjara rahasia CIA sebelum mereka dipindahkan ke penjara militer AS yang terletak di Pangkalan Angkatan Laut di Teluk Guantanamo di Kuba pada 4 September 2006.

Dari pengakuan Hambali kepada tim kuasa hukumnya, penyiksaan terjadi selama dirinya ditahan di penjara rahasia dan tiga tahun pertama di Guantanamo.

Michdan menjelaskan, pada era pemerintahan Barack Obama, negosiasi perihal persidangan Hambali dengan pejabat komisi militer AS sempat intens dilakukan tim pengacara. Salah satunya adalah Hambali bisa disidangkan ke Indonesia selama mau mengakui kesalahan dan tidak memperkarakan dugaan penyiksaan selama berada di tahanan.

"Waktu itu dengan teman-teman bersepakat di Indonesia saja diadili. Karena misalnya negosiasi ok, dia pengakuan menerima hukuman 20 tahun. Tapi ketentuan UU Amerika itu 20 tahun tidak dipotong masa tahanan. Itu yang kita keberatan," kata Michdan.

Selain itu, sempat juga dibicarakan bahwa jika persidangan tetap dilakukan di AS, komisi militer setempat akan memberikan keleluasaan bagi juri untuk datang ke Indonesia menemui saksi-saksi yang bisa meringankan hukuman Hambali.

"Sampai dengan Presiden Trump menang, lalu itu hilang," kata Michdan.

Michdan mengatakan dia telah berkomunikasi dengan Mayor James Valentine, seorang pengacara militer yang ditunjuk oleh pemerintah AS untuk mewakili Hambali. "Sebelum pandemi kami berencana mengunjungi [Hambali]. Kami telah mengirim file ke Pentagon," kata Michdan, "Kami ingin membawa dokter, tapi dibatalkan karena pandemi. Kita juga bicara Hambali ingin sekali dijumpai penasihat hukum dan keluarga Indonesia," tambah dia.

Valentine, sementara itu, mempertanyakan mengapa pengumuman itu datang sehari setelah pelantikan Presiden Joseph Biden. "Ini dilakukan dalam keadaan panik sebelum pemerintahan berjalan normal," kata Valentine kepada Associated Press.

Tim kuasa hukum juga sempat mempertanyakan mengapa pemerintah Indonesia tidak mengajukan permohonan untuk memulangkan Hambali ke Indonesia, namun ketika itu didapatkan respons bahwa Hambali tidak lagi memiliki status sebagai warga negara Indonesia.

"Pemerintah waktu itu bilang Hambali ini stateless, tapi kita juga menangani kasus Ustad Abu Bakar di Malaysia, dan ketika itu status stateless-nya bisa dibuka," kata Michdan.

Pada 2019, jaksa penuntut AS mengajukan dakwaan baru untuk Hambali meliputi persengkokolan dengan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden dan sejumlah kasus lainnya untuk melakukan serangan teroris di Asia Tenggara dan di tempat lain, menurut salinan lembar dakwaan yang diajukan pada 5 April.

Valentine mengomentari penambahan dakwaan tersebut sebagai "upaya putus asa" jaksa untuk menyelamatkan kredibilitas komisi militer. Pihak berwenang Amerika tidak ingin kasus Hambali disidangkan, atas dugaan persidangan akan mengungkap penyiksaan dilakukan oleh militer Amerika terhadap kliennya, demikian kata Valentine.

"Menurut saya AS tidak memiliki otoritas moral atau kemampuan praktis untuk mengadili kasus ini karena untuk mengadili kasus ini, sesuai dengan standar hak asasi manusia dan standar negara hukum, mereka harus mengungkap kejahatan penyiksaan," kata Valentine.

Jika terbukti bersalah dalam persidangannya nanti, Hambali dapat menerima hukuman seumur hidup di penjara karena jaksa memutuskan untuk tidak menjatuhkan hukuman mati. BenarNews/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top