Krisis Persaingan Usaha, Lanskap Ekonomi Saat Ini Cenderung Monopolistik
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Foto: antaraJAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegaskan produk domestik bruto (PDB) per kapita di negara berkembang pasti meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan pertumbuhan positif ekonomi mereka. Meski demikian, capaian tersebut tak serta merta menggambarkan pemerataan kesejahteraan.
"PDB per kapita tidak dapat menunjukkan berapa pendapatan kelas bawah, menengah, atas. Kalau dikelompokan pasti akan terlihat ketimpangannya," tegas Anggota KPPU , Eugenia Mardanugraha kepada Koran Jakarta, Kamis (6/2).
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan tindakan monopoli oleh perusahaan besar dapat menambah PDB karena mereka bertambah pendapatannya dengan memperkecil pendapatan pesaingnya.
Apabila pertambahan pendapatan para pelaku monopol lebih besar dari penurunan pendapatan pesaingnya, maka PDB akan bertambah besar, sekalipun tindakan tersebut dilarang oleh undang-undang.
Dia tak mempermasalahkan peningkatan PDB yang disumbangkan oleh orang-orang kaya penguasa sebagian besar ekonomi. Asalkan, mereka tak melanggar undang-undang persaingan usaha.
Dari perspektif KPPU, ujarnya, bukan masalah besar-kecilnya atau naik-turunnya PDB maupun PDB per kapita, tetapi perilaku pengusaha memperoleh pendapatannya (PDB) tersebut.
Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) menambahkan selama ini PDB memang didominasi orang kaya. "Negara memang banyak berpihak ke orang kaya, sementara ke orang miskin diabaikan," tegasnya.
Dari Yogyakarta, Peneliti Mubyarto Institute Awan Santosa menegaskan praktik perekonomian di Indonesia sangat kental dengan 'erajat penghisapan'. Artinya, orang kaya menghisap begitu banyak sumber sumber ekonomi negara.
Awan menambahkan PDB per kapita yang dipaparkan BPS belum sepenuhnya dapat menjadi cerminan kesejahteraan rakyat. Mesti dilihat dulu kontribusi ekonomi rakyat dalam struktur PDB tersebut serta dikomparasikan dengan pengeluaran per kapita.
"Sesuai teori Prof. Mubyarto, jika PDB per kapita tinggi tetapi pengeluaran per kapita rendah maka itu mengindikasikan 'derajat penghisapan' yang tinggi di Indonesia," tegas Awan.
Ketimpangan Struktural
Awan merinci ketimpangan dalam struktur PDB terlihat dari 0,01 persen usaha besar yang menguasai hampir 40 persen dari PDB Indonesia, sementara UMKM yang meliputi 99 persen lebih pelaku ekonomi Indonesia menguasai 60,51 persen saja dari PDB.
"Intinya distribusi kekayaan itu tidak ada. Ketimpangan masih lebar, dilihat juga dari penguasaan aset, lahan, dan simpanan di bank," papar Awan.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik, Rabu (5/2), menyatakan PDB per kapita Indonesia pada 2024 mencapai 78,62 juta atau 4.960,33 dollar AS. Angka itu naik dibanding pencapaian pada 2023 sebesar 75 juta rupiah.
Pelaksana Tugas Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti dalam keterangannya di Jakarta, menyatakan PDB per kapita menjadi salah satu indikator tidak langsung dari besaran pendapatan per kapita, sehingga sering digunakan untuk menilai tingkat kemakmuran suatu wilayah.
Adapun nilai PDB atas dasar harga berlaku (ADHB) pada tahun lalu mencapai 22.138,96 triliun rupiah, meningkat dari 20.892,4 triliun rupiah pada 2023. Meskipun capaian PDB dan PDB per kapita meningkat, dia menyatakan perekonomian Indonesia secara kumulatif (c-to-c) tumbuh melambat pada 2024 dibandingkan pada 2023.
“Ekonomi Indonesia pada 2024 tumbuh sebesar 5,03 persen, melambat dibanding capaian 2023 sebesar 5,05 persen,” kata Amalia.
Redaktur: Muchamad Ismail
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Kepala Otorita IKN Pastikan Anggaran untuk IKN Tidak Dipangkas, tapi Akan Lapor Menkeu
- 2 Presiden Prabowo Pastikan Pembangunan IKN Akan Terus Berlanjut hingga 2029
- 3 SPMB Harus Lebih Fleksibel daripada PPDB
- 4 Danantara Jadi Katalis Perekonomian Nasional, Asalkan...
- 5 Polemik Pagar Laut, DPR akan Panggil KKP