Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Krisis Filipina-Tiongkok dan "Sembilan Garis Putus-putus"

Foto : Antara/CIA via Wikipedia

"Sembilan Garis Putus-putus" (berwarna hijau) yang menandakan klaim Republik Rakyat Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan, berdasarkan peta yang dibuat CIA pada 1988.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Secara geografis, Beting Scarborough jauh lebih dekat ke Filipina ketimbang pulau terluar Tiongkok mana pun.

Filipina menamai beting itu dengan Bajo de Mesinloc, sedangkan Tiongkok menamainya dengan Huangyan Dao (Pulau Huangyan).

Beting ini berada persis di dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina, sehingga negara ini berdaulat atas beting itu dan perairan di sekitarnya.

ZEE adalah zona sejauh 200 mil laut dari garis pantai sebuah negara yang membuat negara itu berdaulat di dalam zona itu, termasuk hak mengeksplorasi dan mengusahakan sumber daya alamnya.

Beting Scarborough hanya berjarak 119 mil atau 220 km dari Pulau Luzon di Filipina. Jauh lebih dekat dibandingkan dari Pulau Hainan di Tiongkok yang mencapai 947 km.

Tiongkok memang tak memakai Hainan sebagai titik acuan, melainkan pulau terluar di Kepulauan Paracel. Namun, itu pun tetap tak lebih dekat dari jarak beting tersebut ke daratan Filipina.

Kepulauan Paracel sendiri adalah satu dari dua kepulauan yang disengketakan di Laut Tiongkok Selatan. Paracel disengketakan oleh Vietnam, Tiongkok, dan Taiwan.

Kepulauan lainnya yang disengketakan adalah Kepulauan Spratly.

Kedua kepulauan itu diserahkan kepada Republik Tiongkok setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada 1945 dalam Perang Dunia Kedua.

Sekutu menugaskan Republik Tiongkok untuk menerima penyerahan diri Jepang di wilayah itu.

Dalam perjanjian Jenewa pada 1954, Jepang resmi melepaskan semua klaim di pulau-pulau Laut Tiongkok Selatan yang didudukinya selama Perang Dunia Kedua.

Republik Tiongkok menjadi pihak yang paling getol mengklaim kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan, bahkan menduduki salah satu pulau utamanya, Pulau Woody. Prancis yang saat itu menjajah Indo-China, termasuk Vietnam, gagal menghentikan manuver Republik Tiongkok di pulau itu.

Pada Desember 1947, Republik Tiongkok membuat peta "sebelas garis putus-putus" berbentuk U yang mengklaim seluruh Laut Tiongkok Selatan, termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel, sebagai wilayahnya.

Setelah Tiongkok Komunis memenangi perang saudara di Tiongkok pada 1949 dengan mengalahkan Republik Tiongkok yang lalu menyingkir ke Taiwan, Pulau Woody beralih dikuasai Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang komunis.

Di lain pihak, Prancis menduduki Pulau Pattle yang setelah Vietnam merdeka pada 1956 diserahkan kepada negara yang lalu terpecah menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan tersebut.

Pada 19 Januari 1974, pecah perang singkat antara RRT dengan Vietnam Selatan di Pulau Pattle. Tiongkok memenangi perang itu, sehingga pulau tersebut jatuh ke tangan RRT yang sejak itu secara de facto menguasai penuh Kepulauan Paracel.

Akibatnya, wilayah lautan de facto Tiongkok pun meluas dan memanjang sampai bagian utara Laut Tiongkok Selatan.

"Sebelas Garis Putus-Putus" yang awalnya dikemukakan pemerintah Republik Tiongkok yang sudah menyingkir ke Taiwan, menyurut menjadi "Sembilan Garis Putus-Putus", seperti disebutkan baru-baru ini dalam peta standar Tiongkok yang diterbitkan Kementerian Sumber Daya Alam RRT, pada 28 Agustus 2023.

Peta standard itu ditolak Vietnam, Malaysia, dan Filipina, selain India dan Nepal, karena peta baku itu juga mencantumkan daerah-daerah India dan Nepal yang diklaim Tiongkok.

Lebih dari itu "Sembilan Garis Putus-putus" itu sendiri sejak lama ditolak oleh Konvensi Hukum Laut PBB.

"Sembilan Garis Putus-Putus" itu membuat Tiongkok menguasai hampir seluruh wilayah Laut Tiongkok Selatan, termasuk Kepulauan Spratly yang berjarak sekitar 1.000 km dari Kepulauan Natuna di Indonesia.

Peta imajiner Tiongkok itu juga mengikis wilayah laut Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia di Pulau Kalimantan.

Hanya Teluk Thailand dan bagian paling selatan Laut Tiongkok Selatan di area Kepulauan Natuna, yang terbebas dari klaim Tiongkok.

Namun, mungkin saja dalam jangka panjang bisa saja wilayah-wilayah itu juga diklaim Tiongkok, jika berkaca kepada apa yang dilakukan Tiongkok setelah secara de facto Kepulauan Paracel, yang otomatis memperluas zona laut de facto-nya.

Saat ini saja, angkatan laut China dan kapal-kapal yang disamarkan sebagai kapal sipil Tiongkok yang oleh Filipina disebut "milisi laut Tiongkok" itu, secara provokatif kerap masuk ZEE Indonesia di Kepulauan Natuna.


Filipina kekurangan opsi

Kembali ke soal Beting Scarborough. Ketegangan semakin meningkat antara Tiongkok dan Filipina, terutama setelah Tiongkok memasang rangkaian pelampung di sekeliling beting tersebut, yang lalu disingkirkan oleh angkatan laut Filipina.

Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr mengambil kebijakan keras kepada Tiongkok ketimbang pendahulunya Rodrigo Duterte.

"Mereka (Tiongkok) tak bisa begitu saja memasang barikade di wilayah yang jelas-jelas ada di dalam wilayah Filipina," kata Marcos, seperti dilaporkan The Manila Times.

"Kami tak mencari masalah, tapi kami akan melakukan hal yang mesti kami lakukan. Kami akan selalu membela tanah air Filipina, wilayah laut Filipina, hak-hak nelayan kami yang sudah ratusan tahun mencari ikan di perairan itu," kataMarcos, menegaskan.

Di bawah kepemimpinan Marcos, Filipina mengintensifkan upaya menentang aksi Tiongkok yang dirasa mereka kian agresif saja dari waktu ke waktu.

Pemerintah Tiongkok sendiri menyatakan Filipina telah melakukan aksi provokatif di wilayah yang diklaim Tiongkok adalah miliknya.

"Tiongkok memiliki kedaulatan mutlak di Pulau Huangyan dan perairan yang mengelilinginya serta memiliki yurisdiksi di atas perairan-perairan terkait," kata Juru Bicara Pasukan Penjaga Pantai Tiongkok (CCG) Gan Yu, seperti dikutip laman salah satu media utama China Global Times.

CCG menyatakan akan terus melakukan penegakan hukum di perairan yang menjadi yurisdiksi Tiongkok, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan akan tegas menjaga kedaulatan lautnya.

Pertanyaannya, benarkah Tiongkok selaras dengan hukum? Mungkin ya, kalau maksudnya hukum dalam negeri Tiongkok. Namun, tidak, dari perspektif hukum internasional.

Sejak 10 tahun silam, Filipina mengajukan gugatan kepada Mahkamah Arbitrasi Internasional di Den Haag, Belanda, untuk memperkarakan klaim Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan yang telah digunakan Tiongkok sebagai justifikasi untuk membangun pos-pos militer di jalur perairan internasional yang disengketakan itu.

Pada 2016, Mahkamah Arbitrasi Internasional memenangkan gugatan Filipina itu. Namun, China Tiongkok tak menggubris putusan hukum tersebut. Mereka menganggap sepi putusan pengadilan dunia itu dengan terus bertindak agresif di Tiongkok Selatan.

Sikap Tiongkok yang agresif itu sudah pasti mengkhawatirkan sejumlah negara, khususnya Filipina, Vietnam, dan negara-negara lainnya yang bersengketa dengan Tiongkok.

Mungkin Tiongkok melakukan hal itu karena daya tarik energi yang sangat besar di laut itu. Energy Information Administration, badan pemerintah Amerika Serikat yang menganalisis informasi energi, mengungkapkan bahwa Laut Tiongkok Selatan mengandung paling sedikit 190 triliun kaki kubik gas alam dan 11 miliar barel minyak.

Tiongkok juga mungkin benar merasa terprovokasi AS yang menguatkan lagi kerja sama pertahanannya dengan Filipina, terlebih negara adidaya itu kian agresif mengurung Tiongkok, termasuk di Laut Tiongkok Selatan yang menjadi perlintasan untuk sepertiga volume pelayaran dunia dengan nilai 3,37 triliun dolar AS.

Namun, semua hal itu semestinya tak mengenyampingkan suara negara-negara yang bersengketa dengannya di Laut Tiongkok Selatan.

Lain dari itu, menganggap negara-negara, seperti Filipina, bersekongkol dengan kekuatan ketiga, khususnya AS, adalah salah besar. Apalagi, Filipina terikat perjanjian keamanan dengan AS yang ditandatangani pada 1951 di mana AS wajib membela Filipina jika diperangi oleh negara lain.

Kalaupun Filipina berpaling kepada AS, maka itu merupakan kalkulasi politik yang logis dari negara yang dalam hal apa pun lebih lemah dibandingkan Tiongkok yang kini meraksasa.

Negara-negara seperti Filipina mungkin kekurangan opsi, termasuk dari mekanisme kawasan di ASEAN yang tak begitu efektif menyelesaikan masalah-masalah kritis seperti terjadi di Beting Scarborough itu.

Bahkan, Vietnam yang terlibat perang brutal menghadapi Amerika Serikat, berpaling kepada bekas musuhnya itu, setelah melihat Tiongkok yang semakin agresif mengerahkan kekuatan militer dan tak segan mencampakkan hukum internasional.

Di sinilah, Tiongkok perlu membuktikan lagi komitmen meninggikan dialog. Provokasi hanya memicu reaksi yang bisa membuka jalan untuk terjadinya gesekan yang kian keras, termasuk antara Tiongkok dan AS.


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top