Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Hak Pilih - Sampai Saat Ini Tidak Memungkinkan Cetak Suara Tambahan

KPU Sarankan Pemilih Pindah Agar Uji Materi ke MK

Foto : ANTARA/Siswo widodo

Sosialisasi untuk Disabilitas - Penyandang disabilitas mengikuti sosialisasi Pemilu 2019 di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Karanagrejo, Kabupaten Madiun, Jawa Timur, Jumat (22/2). Sosialisasi yang dilakukan Relawan Demokrasi Basis Disabilitas diikuti 45 penyandang disabilitas, untuk memberi pemahaman tentang cara menggunakan hak pilih dalam Pemilu 2019.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap Tambahan (DPTb) yang dirampungkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menimbulkan sebuah masalah. Pasalnya, tidak ada regulasi yang terkait pencetakan surat suara tambahan untuk DPTb. Komisioner KPU Viryan Aziz mendorong pemilih yang pindah untuk melakukan judicial review (JR) atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau kembali aturan tersebut.

"Yang jelas KPU apapun yang akan dilakukan tetap berpegang pada regulasi yang ada,sampai saat ini tidak memungkinkan bahwa mencetak surat suara untuk DPTb tersebut. Ada dua alternatif, pertama Perppu, kemudian mungkin ada warga negara yang status nya DPTb khawatir hak pilihnya hilang, itu bisa mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi," ujarnya di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (22/2).

Viryan menjelaskan uji materi tersebut digunakan untuk menggugat pasal 344 ayat 2 dalam UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilu, yang menyebutkan jumlah surat suara yang dicetak sama dengan jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) ditambah 2 persen dari DPT per Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Menurutnya, pemilih yang pindah bisa menggugat pasal ini ke MK untuk dapat menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara nanti. "Yang terancam hak konstitusinya pemilih, jadi pemilih DPTb memungkinkan untuk mengajukan itu (uji materi)," terangnya.

Terkait usulan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mengusulkan untuk segera membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), Viryan menanggapi bahwa hal tersebut merupakan domain pemerintah. Namun, pihaknya tetap berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait untuk segera menyelesaikan masalah tersebut.

"Kita sudah mulai mengkomunikasikan sejak kemarin dengan pihak-pihak terkait, dengan realitas yang di lapangan berdasarkan data rekapitulasi yang masuk ke KPU. Apakah opsinya Perppu atau JR, kalau Perppu domain dari pemerintah, kalau JR domain warga negara yang hak pilihnya terancam hilang. Di antara dua ini kita masih melihat yang akan dipertimbangkan," tandasnya.

Negara Harus Hadir

Sementara itu dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan seharusnya uji materi ke MK merupakan pilihan terakhir. Mestinya, lanjut Titi, negara yang merupakan pelayan masyarakat yang harus mengambil tindakan untuk mengatasi masalah tersebut.

"Tidak bisa dong, tidak bijaksana setiap ada problematika dalam penyelenggaraan Pemilu, masyarakat yang harus menanggungnya dan mencari penyelesaian masalah hukumnya. Harusnya negara yang memberikan solusi pertama kali. Pilihan untuk JR itu tidak bisa menjadi pilihan utama, karena harusnya negara yang hadir dulu," jelasnya saat dihubungi Koran Jakarta.

Titi mengusulkan tiga pilihan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pertama, revisi terbatas antara pemerintah dengan DPR mengenai pasalpasal yang berkaitan dengan hak konstitusi warga negara dalam UU Pemilu. Kemudian, yang kedua adalah penerbitan Perppu dari presiden. Terakhir, yaitu terobosan melalui Peraturan KPU tetapi dengan kesepakatan pihak terkait.

Dari ketiganya, menurut Titi yang paling memungkinkan adalah Perppu. "Menurut saya, pilihan Perppu merupakan pilihan yang sesuai. Selain itu, Perppu ini sekaligus mengakomodir hak pilih bagi warga negara yang nyata-nyatanya warga negara Indonesia tetapi belum memiliki KTP elektronik.

Kan masih ada yang jelas-jelas dia WNI, sudah berusia 17 tahun, pada pemungutan suara tidak bisa menggunakan hak pilih karena tidak memiliki KTP elektronik," pungkasnya.

tri/AR-3

Komentar

Komentar
()

Top