KPNas: Indonesia Harus Susun Regulasi Pengelolaan Sampah Plastik
Pemerintah Indonesia harus menyusun kebijakan dan regulasi untuk mendorong pengelolaan sampah plastik.
Foto: istimewaJAKARTA - Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) Bagong Suyoto mengatakan pemerintah Indonesia harus menyusun kebijakan dan regulasi untuk mendorong pengelolaan sampah plastik.
"Kapan pemerintah Indonesia membuat dan menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR) dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) guna mensukseskan pengelolaan sampah plastik di Indonesia? Hanya pemerintah dan legislatif yang berhak membuat kebijakan nasional dan regulasi EPR di Indonesia," kata Bagong dalam keterangan tertulisnya, Jumat (16/2).
Banyak orang mendiskusikan dan melakukan pengolahan dan pengurangan sampah plastik. Plastik banyak jenisnya, PET (botol dan gelas mineral), plastik PP, kantong kresek (berbagai warna dan sablon), plastik LD, mainan, naso, PK, ember (berbagai warna), himpek, PVC, dll.
Biasanya, kata Bagong, kegiatan penyediaan bahan baku daur ulang hanya fokus beberapa jenis plastik, tidak semua ditangani. Karena butuh modal dan infrastruktur yang besar. Bagi pelapak atau usaha kecil menengah tak mampu menyediakan modal Rp200 juta, Rp500 juta, apalagi Rp 1miliar. Belum lagi infrastrukturnya dan peralatan kerja, seperti lahan minimal 500m2, hangar atau gudang, kalau pakai mesin press harganya Rp65-85 juta per unit, pasang listrik 3 pas setidaknya Rp15-20 juta, kendaraan angkut, timbangan, dll.
Jelas, kegiatan penyediaan bahan baku untuk industri daur ulang butuh modal besar. Tidak setiap komunitas, pengepul kecil menengah mampu menyediakan modal, teknologi, infrastruktur, dan kendaraan yang cukup. Semua harus didukung oleh perusahaan yang mengeluarkan produk tersebut.
"Dalam mandat Pasal 15 dan 16 UU No.18/2008 produsen yang mengeluarkan plastik kemasan atau lainnya harus menanggung beban limbahnya. Semakin besar limbah yang dikeluarkan semakin besar tanggung jawabnya. Itulah yang disebut Extended Producer Responsibility (EPR)," jelas pria yang juga ketua Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI) ini.
EPR sudah diterapkan di negara-negara Uni Eropa, setidaknya sejak 1970-an. Mereka berhasil mengelola sampah plastik. Negara-negara industri maju secara konsisten dan ketat mengimplementasikan EPR. Sehingga sektor industri patuh terhadap regulasi yang ditetapkan negara. Seperti penerapan EPR di Korea Selatan.
Selama ini, Bagong melanjutkan, belasan bahkan mungkin ratusan tahun orang-orang kecil dari sektor informal, seperti pemulung, pelapak, buruh sortir, kebersihan kota, dll. yang mengurus dan membersihkan kotoran dari perusahaan pembuat botol atau gelas mineral, kemasan, sachet, bungkus mie instan, dll.
"Mereka ini telah mengurusi dan membersihkan kotoran sampah perusahaan, apa yang didapat? Perusahaan tidak ada timbal baliknya. Tidak ada rasa peduli. Merupakan bentuk kedunguan luar biasa. Ini juga artinya tidak peduli terhadap masa depan keberlanjutan lingkungan hidup," katanya.
"Kapan negara akan sadar dan segera menyusun kebijakan dan regulasi EPR? Apakah harus menunggu perintah Presiden? Kapan perusahaan-perusahaan pencipta kemasan yang sampahnya sangat besar, mungkin lebih dari 25%, mau menerapkan EPR dan peduli pada sektor informal yang mengurusi kotoran sampahnya?" katanya geram.
Redaktur: Lili Lestari
Penulis: Lili Lestari
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Jangan Lupa Nonton, Film "Perayaan Mati Rasa" Kedepankan Pesan Tentang Cinta Keluarga
- 2 Trump Mulai Tangkapi Ratusan Imigran Ilegal
- 3 Menkes Tegaskan Masyarakat Non-peserta BPJS Kesehatan Tetap Bisa Ikut PKG
- 4 Ketua Majelis Rektor: Rencana Kampus Kelola Tambang Jangan Jadi Masalah Baru
- 5 Berpotensi Kembali Terkoreksi Jelang Akhir Pekan