Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Malaka

Kota Pelabuhan Paling Multietnis di Zamannya

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Menyadari bahwa kendali atas Malaka akan memberinya monopoli barang-barang Tiongkok dan rempah-rempah dari Maluku, Alfonso de Albuquerque (1453-1515), seorang ahli strategi yang sangat kejam adalah arsitek utama kebijakan Portugis di Asia, menyerang kota itu pada 1511.

Setelah beberapa pertempuran sengit dengan pemanah terampil sultan dan gajah perang yang kuat, Portugis menaklukkan pelabuhan tersebut. Albuquerque yang bertujuan memonopoli perdagangan Asia dengan cepat merebutchoke pointpenting ini.

Dilatarbelakangi kekalahan dalam perdagangan di Mediterania, Albuquerque membenarkan serangannya di pelabuhan dalam pidatonya kepada anak buahnya. "Dan saya sangat yakin bahwa jika kita mengambil perdagangan Malaka ini dari tangan mereka, Kairo dan Mekah akan hancur seluruhnya, dan ke Venesia tidak akan ada rempah-rempah yang dikirim kecuali yang dibeli oleh para pedagangnya di Portugal," seperti dikutip Walter de Gray Birch dalam bukuThe Commentaries of the Great Alfonso D'Alboquerque.

Setelah berada di tangan Portugis selama 130 perdagangan di Malaka mengalami penurunan. Para pedagang Melayu menemukan pelabuhan saingan, dan orang Eropa seperti Belanda dan Inggris segera menjadi ancaman serius. Pada kondisi ini Malaka Portugis semakin bertahan hanya sebagai pos terdepan militer di tengah lautan musuh.

Ketika Belanda menggantikan Portugis sebagai penguasa kota pada tahun 1641, penguasa baru menguasai pelabuhan hanya untuk menjaganya dari tangan saingannya. Beberapa orang Belanda yang berimigrasi ke Malaka memang membangun gedung-gedung khusus untuk para pejabat dan pedagang VOC.

Pada awal abad ke-19, British East India Company menaruh perhatian pada Selat Malaka. Kapal Inggris yang memuat opium dari India melewati Asia tenggara dalam perjalanan ke Kanton. Untuk mengamankan jalur air penting ini, Inggris merundingkan penguasaan Malaka melalui Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824.

Namun, Thomas Stamford Raffles (1781-1826) menetapkan Singapura sebagai pusat operasi Inggris di wilayah tersebut dan Malaka tetap tertinggal. Ketika naturalis Russel Alfred Wallace (1823-1913) berkunjung pada tahun 1850-an, dia menulis sebagai berikut.

"Penduduk Malaka terdiri dari beberapa ras. Orang Tionghoa yang ada di mana-mana mungkin yang paling banyak, menjaga tata krama, adat istiadat, dan bahasa mereka. Orang Melayu asli berada di urutan berikutnya dalam hal jumlah, dan bahasa mereka adalahlingua francatempat itu," tulisnya.

"Berikutnya adalah keturunan Portugis ras campuran, terdegradasi, dan merosot, tetapi masih menggunakan bahasa ibu mereka, meskipun tata bahasanya dimutilasi dengan menyedihkan, dan kemudian ada penguasa Inggris, dan keturunan Belanda, yang semuanya berbahasa Inggris," tulis Wallace dalam bukuThe Malay Archipelago(1885).

Multikulturalisme yang semarak di pelabuhan terus berkembang. Di bawah pemerintahan Inggris, populasi Tiongkok tumbuh sebagai bagian dari komunitas Tiongkok peranakan yang lebih besar. Seperti halnya Portugis dan Belanda, banyak pria Tiongkok mengambil pengantin dan selir dari orang berbahasa Bali yang menghasilkan budaya hibrida. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top