Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Pertanian - Lahan Harus Ditambah, Tak Cukup Hanya Setop Konversi

Konversi Lahan Akan Ganggu Stok Pangan

Foto : Sumber: BPS

Pangan yang dimaksud adalah komoditas yang masuk dalam kelompok standard international trade classification (SITC) 0 atau bahan makanan dan binatang hidup.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah diminta lebih tegas mencegah konversi atau alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian. Sebab, hal itu bakal mengganggu ketahanan pangan nasional ke depan.

Saat ini, keberadaan lahan sawah di Indonesia menyusut tajam, mencapai 150 ribu hingga 200 ribu hektare (ha) per tahun, karena beralih fungsi menjadi lahan non-sawah atau kepentingan lain, seperti kawasan industri dan perumahan.

Di sisi lain, populasi penduduk terus bertambah sehingga akan diikuti dengan kenaikan kebutuhan pangan maupun perumahan. Padahal, sejak 2007 neraca pangan Indonesia selalu defisit, sehingga impor pangan senantiasa melebihi ekspor.

Ekonom Indef, Rusli Akbar Abdullah, mengemukakan pemerintah harus lebih tegas dalam mencegah pesatnya konversi lahan, bukan sekadar imbauan. Untuk itu, diperlukan aturan dalam bentuk undang-undang (UU). Perlu ada aturan yang mengikat bahwa harus ada lahan abadi untuk pertanian.

"Berkurangnya luas lahan pertanian akan mengganggu stabilitas pasokan pangan ke depan. Program pencetakan sawah dan pemanfaatan lahan tidur sebenarnya perlu penyesuaian waktu agar tingkat produktivitas sama atau melebihi lahan sawah lama," tutur dia, di Jakarta, Senin (25/2).

Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/ Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat alih fungsi lahan semakin masif dari tahun ke tahun. Pada 2013, masih ada 7,75 juta ha lahan sawah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Namun, lima tahun kemudian turun menjadi 7,1 juta ha atau menyusut sekitar 650.000 ha. Konversi lahan ini terjadi untuk perumahan, industri, dan infrastruktur seperti jalan.

Alih fungsi lahan persawahan ke non-pertanian mencapai 150 ribu-200 ribu ha per tahun. Artinya, apabila hal ini terus dibiarkan, area persawahan Indonesia berpotensi habis dalam 38 tahun ke depan.

Rusli mengakui mustahil untuk meniadakan sama sekali konversi lahan. Oleh sebab itu, yang diperlukan adalah pengaturannya. Konversi lahan yang terjadi secara besar-besaran perlu diimbangi dengan pemanfaatan lahan yang tersedia. "Penggunaan teknologi pertanian yang mampu meningkatkan produktivitas harus segera diusahakan," kata dia.

Penasihat ahli Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, menambahkan, sebenarnya UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) sudah mengatur penggunaan lahan yang harus ditindaklanjuti oleh produk hukum di daerah hingga tingkat kabupaten yang berupa Peraturan Daerah Rencana Tata RuangWilayah (RTRW), dengan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) sebagai turunannya.

"Tapi, banyak daerah tidak punya regulasi daerah atau produk hukum daerah untuk PLP2B, yang sering malah pelanggaran tata ruang. Jadi, bagaimana alih fungsi lahan akan berhenti," tutur dia.

Neraca Pangan

Sementara itu, ekonom Faisal Basri, dalam blog pribadinya mengungkapkan sejak 2007 transaksi perdagangan (ekspor dan impor) pangan Indonesia mengalami defisit. Nilai defisit tertinggi terjadi pada 2011, yaitu sebesar 4,2 miliar dollar AS.

Defisit pangan bisa ditekan hingga hanya 0,6 miliar dollar AS pada 2015, namun membengkak kembali dalam tiga tahun terakhir. Pada 2018 (hingga November), defisit kembali meningkat menjadi 2,9 miliar dollar AS.

Gunawan mengingatkan dengan pertambahan penduduk yang membuat Indonesia pada 2025 mengalami bonus demografi, penambahan lahan pertanian harus dilakukan. "Kalau tidak, dipastikan impor pangan akan makin membanjiri Tanah Air. Setop alih fungsi saja tidak cukup, harus menambah lahan pertanian," tukas dia.

Meskipun demikian, menurut Faisal, ada keberhasilan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam bidang pangan yang patut dicatat, yaitu dalam hal keamanan pangan. Peringkat Indonesia dalam Global Food Security Index (GFSI) selalu naik kelas dalam tiga tahun berakhir, dari urutan ke-74 pada 2015 menjadi ke-71 pada 2016, lalu naik lagi ke urutan ke-69 pada 2017 dan ke- 65 pada 2018. Skor GFSI Indonesia pun terus naik dari 46,7 pada 2015 menjadi 54,8 pada 2018.

"Dengan kenaikan peringkat dan skor itu, akses masyarakat terhadap pangan membaik. Kelaparan tak terdengar belakangan ini," ujar dia.ahm/YK/WP

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top