Rabu, 05 Mar 2025, 08:24 WIB

Konsumsi Rumah Tangga Terus Alami Tekanan, Pemerintah Harus Proaktif

Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Freesca Syafitri

Foto: istimewa

JAKARTA-Pemerintah perlu lebih agresif melakukan intervensi, sebab saat ini konsumsi rumah tangga mengalami tekanan yang cukup lama. Berbagai tekanan baik internal maupun eksternal menggerus daya beli kelas menengah. Fenomena ini bakal membuat ekonomi stagnan.

Freesca Syafitri, Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta mengatakan, tekanan pada konsumsi rumah tangga menjadi perhatian utama, mengingat sektor ini menyumbang lebih dari 55 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

 "Pelemahan rupiah yang menyebabkan kenaikan harga kebutuhan pokok akan menggerus daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah yang memiliki elastisitas konsumsi tinggi terhadap perubahan harga,"ujarnya pada Koran Jakarta, Rabu (5/3).

Ramadan yang biasanya menjadi momen peningkatan konsumsi dapat berubah menjadi periode pelemahan permintaan domestik jika inflasi terlalu tinggi. Dalam kondisi seperti ini, rumah tangga cenderung mengurangi pengeluaran untuk barang non-esensial dan lebih fokus pada kebutuhan dasar, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

 Pelemahan rupiah yang terjadi sejak awal tahun dan terus berlanjut hingga periode Ramadan 2025 bukan hanya masalah nilai tukar, tetapi juga berpotensi menjadi faktor yang mempercepat inflasi, menggerus daya beli, dan memperbesar beban fiskal negara. "Jika tidak diatasi dengan kebijakan yang tepat dan responsif, dampaknya bisa lebih luas terhadap stabilitas ekonomi nasional. Pemerintah ujarnya perlu memastikan bahwa strategi stabilisasi harga pangan dan energi berjalan efektif, sementara kebijakan moneter tetap selaras dengan upaya menjaga pertumbuhan ekonomi,"tegasnya

Dia menekankan, dengan koordinasi yang kuat antara otoritas fiskal dan moneter, serta kebijakan yang berbasis pada data ekonomi yang akurat, Indonesia dapat meminimalisasi dampak negatif dari pelemahan rupiah dan memastikan bahwa momentum pertumbuhan ekonomi tetap terjaga meskipun berada dalam tekanan eksternal yang kuat.

Indonesia sedang menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas ekonomi di tahun 2025. Setelah melewati masa pemulihan dari pandemi COVID-19, banyak pihak berharap bahwa tahun ini akan menjadi momentum kebangkitan ekonomi yang lebih kuat. 

Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama 2025 diperkirakan melambat, bahkan bisa jatuh di bawah 5 persen. Penyebab utamanya adalah turunnya daya beli masyarakat, yang diperparah oleh berkurangnya stimulus ekonomi dan bantuan sosial (bansos).

 Penurunan daya beli ini tidak hanya disebabkan oleh absennya stimulus pemerintah, tetapi juga efek dari kebijakan efisiensi anggaran yang semakin membatasi ruang fiskal untuk intervensi ekonomi. Dalam situasi di mana harga kebutuhan pokok cenderung meningkat, masyarakat kelas menengah ke bawah menghadapi tekanan ekonomi yang lebih berat. 

Menurut data, jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia telah mengalami penyusutan dari 21,5 persen pada 2019 menjadi hanya 17,1 persen pada 2024. Dalam menghadapi situasi ini, kebijakan ekonomi pemerintah harus lebih proaktif. Tanpa intervensi yang tepat dan terukur, ancaman stagnasi ekonomi di 2025 menjadi semakin nyata.

Efek Pengurangan Stimulus

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 bisa di bawah 5,0 persen. Salah satu faktor utama adalah menurunnya daya beli masyarakat akibat berkurangnya stimulus ekonomi berupa bantuan sosial (bansos) yang sebelumnya hadir di awal 2024.

 "Jika kita berbicara data year-on-year (yoy), sulit bagi daya beli rakyat awal tahun 2025 untuk melampaui awal tahun 2024 mengingat pada awal 2024 puluhan triliun bansos dibagikan dalam rangka Pilpres dan Pileg. Faktor ini tidak lagi muncul di awal 2025," ujar Wijayanto

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan: