Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kondisi Kinerja Hakim

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Sudah berkali-kali wajah kekuasaan kehakiman tercoreng akibat politisasi atau dagang sapi. Opsi pragmatisme dan kapitalisme sebagai pilihan, sehingga menafikan kode etik hakim. Hakim PN hingga MA menjadi pembenaran kuatnya mafia. Mereka meruntuhkan keadilan, mencabik-cabik kebenaran, mengeliminasi kesamaan di depan hukum dan menghancurkan keadaban yuridis.

Akibat berbagai praktik "selingkuh yuridis" di ranah kekuasaan kehakiman, publik bukan hanya dibuat terpana menyaksikan ulah para oknum, tetapi juga bertanya, dengan meminjam istilah Bayu Dwi Anggono (Ketua Puskapsi), apakah ini yang namanya darurat integritas?

Bagaimana kita tidak mengamini pernyataan ini jika dalam realitas publik sering dibuat bingung dengan terjadinya disparitas putusan hakim seperti pernah ada pelaku pedofil dijatuhi hukuman "nol tahun" oleh hakim PT, sementara PN menjatuhkan 19 tahun penjara,

Hukum menjadi bertaji dan seolah-olah sarat bingkai moral-etis ketika ditembakkan pada wong cilik yang sedang bermasalah hukum. Sementara itu, saat dipertemukan dengan kekuatan elitis, mulai dari bandit politik hingga ekonomi (korporasi), tangan-tangan perkasa hakim tiba-tiba kehilangan keberdayaannya (empowerless).

Masyarakat atau pencari keadilan sudah mulai terbiasa mendengar dan membaca sepak terjang pilar yudisial (hakim) yang baru menduduki jabatan strategis di negeri ini yang gampang mengucapkan atau melantunkan lagu-lagu manis seperti "akan saya sikat mafia peradilan" atau "akan saya habisi makelar kasus" atau "akan saya tegakkan keadilan untuk siapa pun yang melanggar tanpa kecuali."
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top