Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kondisi Kinerja Hakim

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Siti Marwiyah

Kekuasaan kehakiman selama ini menjadi salah satu institusi bercitra negatif. Mereka belum optimal menegakkan hukum, malah sering menjadi bagian lingkaran mafia peradilan. Ini mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung.

Mereka mempraktikkan omongan Nicollo Machiavelli, het doel heiling de middelen (menghalalkan segala cara) untuk mencapai tujuan. Mereka melupakan kebenaran, keadilan, kejujuran, dan kemanusiaan. Yang penting kekuasaan dan kekayaan tercapai. Mereka tidak masalah mempraktikkan dusta, pengkhianatan, atau pembusukan nilai-nilai demi menjaga kekuasaan.

Kepentingan kekuasaan era Machiavelli itu dikembangkan dilanjutkan zaman sekarang kehakiman di Indonesia, di antaranya demi kepentingan memburu uang dengan cara pragmatis. Mereka menaikkan "harga" tawar-menawar vonis perkara atau memutus perkara sesuai dengan permintaan pihak-pihak beperkara.

Paham Machiavelli seolah banyak dipraktikkan dalam mafia hukum sehingga sikap dan gaya berelasi kekuasaan yudisial yang dibangunnnya lebih dominan mempertimbangkan untung rugi. Mereka bukannya mementingkan pencari keadilan yang membutuhkan untuk diperjuangkan atau dilindunginya.

Sudah berkali-kali wajah kekuasaan kehakiman tercoreng akibat politisasi atau dagang sapi. Opsi pragmatisme dan kapitalisme sebagai pilihan, sehingga menafikan kode etik hakim. Hakim PN hingga MA menjadi pembenaran kuatnya mafia. Mereka meruntuhkan keadilan, mencabik-cabik kebenaran, mengeliminasi kesamaan di depan hukum dan menghancurkan keadaban yuridis.

Akibat berbagai praktik "selingkuh yuridis" di ranah kekuasaan kehakiman, publik bukan hanya dibuat terpana menyaksikan ulah para oknum, tetapi juga bertanya, dengan meminjam istilah Bayu Dwi Anggono (Ketua Puskapsi), apakah ini yang namanya darurat integritas?

Bagaimana kita tidak mengamini pernyataan ini jika dalam realitas publik sering dibuat bingung dengan terjadinya disparitas putusan hakim seperti pernah ada pelaku pedofil dijatuhi hukuman "nol tahun" oleh hakim PT, sementara PN menjatuhkan 19 tahun penjara,

Hukum menjadi bertaji dan seolah-olah sarat bingkai moral-etis ketika ditembakkan pada wong cilik yang sedang bermasalah hukum. Sementara itu, saat dipertemukan dengan kekuatan elitis, mulai dari bandit politik hingga ekonomi (korporasi), tangan-tangan perkasa hakim tiba-tiba kehilangan keberdayaannya (empowerless).

Masyarakat atau pencari keadilan sudah mulai terbiasa mendengar dan membaca sepak terjang pilar yudisial (hakim) yang baru menduduki jabatan strategis di negeri ini yang gampang mengucapkan atau melantunkan lagu-lagu manis seperti "akan saya sikat mafia peradilan" atau "akan saya habisi makelar kasus" atau "akan saya tegakkan keadilan untuk siapa pun yang melanggar tanpa kecuali."

Ini menjadi skema politik pencintraan strukturisasi dirinya di ranah institusi hukum yang seolah benar-benar hendak terwujud dalam waktu secepat-cepatnya. Namun, faktanya ucapan dan janji ini tak pernah terbukti atau hanya "setengah hati" bisa terwujud.

Cari Kekuasaan

Para hakim mengidap penyakit lebih menyukai posisi (kekuasaan) yudisialnya daripada memilitansi perannya untuk menegakkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Mereka lebih bahagia dan senang bisa menikmati hak-hak privilitas dan eksklusivitas yang diperoleh selama menjadi pilar yudisial daripada keberaniannya memperjuangkan hak-hak keadilan wong cilik yang sedang menghadapi kasus.

Menurut Data KPK, sejak berdiri sampai Januari 2017 telah menangani 43 Aparat Penegak Hukum (APH) yang terjerat kasus korupsi. Dari 43 tersebut terbanyak hakim (15), kemudian 11 advokat, tujuh panitera, tujuh jaksa, dan tiga polisi. Menurut data MA, mayoritas pejabat di lingkungan peradilan yang dikenai sanksi sepanjang tahun 2016 adalah hakim. Dari 114 dijatuhi sanksi, 52 di antaranya hakim.

Dengan kasus tersebut menunjukkan, pemain-pemain dari pilar yudisial (hakim) yang sebagian di antaranya telah terjerumus menjadi pelaku kejahatan istimewa "kerah putih" akibat menjadikan hukum dan keadilan sebagai "mesin" untuk memperlancar dan menyukseskan kepentingan pribadinya.

Para pencari keadilan dibuatnya sebagai penonton dan pejuang yang bodoh. Sementara itu, dirinya berdiri jemawa sebagaimana layaknya raja-raja kecil yang berprinsip "king no wrongs".

Itu menunjukkan, faktanya, jagat hukum negara ini darurat, tidak lepas dari pengaruh hakim yang terperangkap dalam praktik penyalahgunaan peran, kewenangan, atau tugas-tugas fundamentalnya. Akibat "darutat" yang kekuasaan kehakiman itu, Gumawan Haz (2015) bilang, rasanya berat sekali untuk menyebut Indonesia masih sebagai negara hukum.

Dalam tataran norma konstitusi, memang negara ini tegas-tegas menempatkan hukum, namun dalam realitas lebih tampak sebagai konstruksi negara yang ringkih. Mereka sekumpulan "manusia palu" yang gemar melakukan "pembangkangan" hukum dan membuat hukum gagal menjalankan tugas.

Hukum yang gagal itu merupakan deskripsi hukum yang dalam implementasinya dibuat mainan atau direkayasa oleh "manusia palu" yang seharusnya militan atau berintegritas dalam menghakimi setiap orang yang mempermainkan hukum.

Mereka itu terbaca sebagai pengemban profesi yang tidak menjaga keagungan profesinya dan bangga mengagungkan keserakahan dan target kapitalisme status sosialnya dengan cara menjadi "mesin" atau "zombi" dari mazhab machiavelistik. Para hakim ini diingatkan oleh filosof kenamaan Socrates, bahwa keadilan merupakan nilai tertinggi dalam masyarakat sehingga harus mengatasi (kepentingan) individualitas tiap orang, termasuk kepentingan individualitas hakim.

Penulis Wakil Rektor I Universitas Dr Soetomo Surabaya

Komentar

Komentar
()

Top