Komnas HAM Nilai Pelaksanaan Pemilu 2029 Perlu Mitigasi Bencana
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Saurlin P Siagian
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho GumayJAKARTA - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Saurlin Siagian menilai pelaksanaan pemilu 2029 mendatang membutuhkan mitigasi bencana.
Komisioner Pengkajian dan Penelitian tersebut menjelaskan bahwa usulan itu disampaikan berdasarkan pengalamannya saat memantau pelaksanaan Pemilu 2024 di Jawa Tengah.
“Di Jawa Tengah itu banyak sekali banjir, dan orang enggak punya plan B mau diapain ini TPS-nya (tempat pemungutan suara), dipindahkankah atau bagaimana?” kata Saurlin dalam acara Peluncuran Kertas Kebijakan Perlindungan dan Pemenuhan HAM Petugas Pemilu di Kantor Komnas HAM, Jakarta, kemarin.
Selain itu, dia menyebut pelaksanaan Pemilu 2024 seperti di Sumatera Utara juga tidak mempunyai mitigasi bencana terhadap banjir besar maupun longsor, sehingga menyebabkan hampir 40 persen pemilih tidak bisa menggunakan haknya pada hari pemungutan suara.
“Sepertinya kita enggak punya plan b. Jadi, ya sudah dibiarkan saja gitu, dan kami menemukan banyak sekali bencana alam saat itu, kan musim hujan saat itu,” ujarnya.
Oleh sebab itu, dia menyimpulkan bahwa catatan Pemilu 2024 adalah belum adanya mitigasi terhadap situasi bencana pada sebelum maupun saat hari pemungutan suara.
“Nah, saya kira mitigasi pemilu dalam situasi bencana menjadi penting ke depan,” kata dia menekankan.
Pertimbangkan “E-voting”
Komnas HAM juga menilai bahwa pemungutan suara elektronik atau e-voting harus menjadi pertimbangan dalam penyelenggaraan pemilu ke depannya.
Saurlin Siagian menjelaskan bahwa usulan tersebut mempertimbangkan para pekerja yang merantau dan tidak bisa pulang ke daerah asalnya.
“Di Indonesia ini kan banyak orang yang bekerja tidak di kotanya, atau tidak di kabupatennya. Nah, ini dibiarkan saja. Kalau kamu enggak pulang, ya sudah kamu kehilangan hak pilih,” kata Saurlin.
Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM tersebut mengemukakan bahwa salah satu perantau yang tidak pulang pada saat pemilu adalah warga Tegal, Jawa Tengah.
“Di Tegal itu ternyata hampir 50 persen penduduknya itu di luar kota Tegal, dan mereka nggak mau pulang untuk pemilihan karena ya sayang kan uang untuk jualan Warung Tegal kalau ditinggalkan satu hari ya. Di warung Tegal, di mana-mana, itu ternyata mereka mempertahankan KTP-nya (kartu tanda penduduk), enggak mau pindah KTP,” ujarnya.
Oleh sebab itu, dia memandang pelaksanaan pemilu mendatang harus memakai teknologi agar lebih efektif dan efisien, yakni melalui e-voting.