Kolonialisme Eropa Hancurkan Hubungan Antar Etnis di Rwanda
Foto: afp/ JOSE CENDONSebelum masa damai seperti sekarang, masyarakat Rwanda kenyang dengan derita. Kolonialisme membuat tiga etnis Hutu, Tutsi, dan Twa yang sebelumnya hidup damai, saling konflik secara terus-menerus.
Rwanda kini telah bangkit menjadi negara modern. Yang mengejutkan negara bagian tengah Afrika ini pada 2018 oleh kepala Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Eric Solheim, menobatkan Kigali, ibu kota Rwanda sebagai kota terbersih di planet ini karena sampah nyaris tidak terlihat.
Untuk membuktikannya pernyataan PBB pada 2022, blogger Drew Binsky mengunjungi negara itu. Dari sini ia berpendapat Rwanda sebagai sebagai negara terbersih di dunia bahkan mengalahkan Singapura.
Tidak mudah untuk mencapai predikat itu. Pemerintah memiliki kebijakan yang membuat warganya bersih-bersih secara sukarela dalam kegiatan yang dikenal dengan sebutan Umuganda yang artinya kebersamaan untuk tujuan bersama. Inisiatif ini telah ada sejak 1962 ketika Rwanda memperoleh kemerdekaan dan menjadi program mingguan pemerintah pada 1974.
Namun perang saudara yang berujung pada peristiwa genosida pada 1994 yang menargetkan suku Tutsi membuat semuanya berantakan. Kini perdamaian tercapai dan negara ini pun kembali menerapkan Umuganda.
Secara geografis Rwanda adalah negara yang terkurung daratan. Orang-orang mulai menetap di daerah tersebut sejak 10.000 SM menurut Jennifer Gaugler dalam tulisan berjudul Selective Visibility: Governmental Policy and the Changing Cultural Landscape of Rwanda (2013).
Gaugler menyebutkan bahwa penduduk pertama daerah yang sekarang menjadi Rwanda menetap di sana setidaknya 10.000 tahun yang lalu selama periode Neolitik. Mereka adalah pemburu-pengumpul makanan dan pembuatan tembikar yang tinggal di hutan dan kemudian diidentifikasi sebagai orang Twa.
Pada tahun 600 Masehi, penduduk di daerah tersebut sudah tahu cara mengolah besi, memiliki sedikit ternak, dan menanam sedikit sorgum dan jewawut. Antara tahun 400 - 1000 M para migran dari Afrika tengah membawa serta pengetahuan yang lebih luas tentang pertanian dan peternakan. Mereka bertani, memiliki ternak dalam jumlah kecil, dan kemudian diidentifikasi sebagai orang Hutu.
Gelombang migran terakhir adalah para penggembala ternak yang melarikan diri dari kelaparan dan kekeringan baik dari Afrika tengah maupun timur. Mereka menetap di Rwanda antara tahun 1400 dan 1500 Masehi. Kelompok ini diidentifikasi sebagai orang Tutsi setelah tahun 1600-an.
Migrasi ini terjadi dalam gelombang yang lambat dan stabil serta tidak terjadi melalui invasi dan penaklukan. Ada juga banyak kohabitasi dan perkawinan campur. Untuk tujuan ini, terdapat tingkat integrasi, penerimaan, dan interaksi yang tinggi antara kelompok-kelompok yang berbeda yang tiba pada waktu yang berbeda.
Beberapa sejarawan bahkan berpendapat bahwa terdapat aliran pergerakan penduduk yang hampir tidak terputus dan tidak ada jejak migrasi kelompok besar dengan cara produksi yang berbeda. Dalam perspektif ini, kelas penggembala muncul karena peningkatan populasi ternak.
Mengikuti alur pemikiran ini, tidak akan ada dasar sejarah pra-kolonial bagi kelompok-kelompok etnis yang telah mendominasi sejarah Rwanda kontemporer. Bagaimanapun, pada 1900-an, tiga kelompok etnis yang dominan sangat terintegrasi hingga sulit untuk membedakannya.
Kelompok-kelompok tersebut memiliki bahasa yang sama, banyak praktik budaya yang sama, dan meyakini agama yang sama. Perbedaan tersebut sebagian besar dibuat melalui cara produksi mereka, yaitu penggembalaan ternak (Tutsi), pertanian (Hutu), dan pemburu/pengumpul (Twa).
Lebih jauh lagi, karena mereka menggunakan cara produksi yang berbeda, terdapat masalah perbedaan antara masyarakat Twa dan masyarakat Rwanda lainnya. Mereka secara alami menentang ekonomi pastoral/pertanian, karena ini memerlukan pembukaan hutan untuk membuka lahan. Dampaknya hanya terjadi sedikit perkawinan campur dan kerja sama dibandingkan dengan mereka yang bertani atau memiliki ternak.
Era Kolonialisme
Pada 1884, berbagai peristiwa di Eropa mengubah arah sejarah Kerajaan Rwanda secara mendalam. Selama konferensi Berlin, tanpa konsultasi apapun dengan rakyat Rwanda, diputuskan negeri itu menjadi bagian dari Kekaisaran Jerman.
Pada 1890, meskipun tidak ada orang Eropa yang pernah mengunjungi negara itu, kerajaan tersebut dimasukkan ke dalam protektorat Jerman di Afrika timur. Dua tahun kemudian, pada 1892, orang Eropa pertama, seorang Jerman bernama Oscar Bauman, memasuki Kerajaan Rwanda.
Pada 1894 Mwami Kigeri IV Rwabugiri bertemu dengan Kapten Jerman von Götzen. Setahun kemudian Raja Rwanda meninggal dan digantikan oleh putranya yang masih muda Mibambwe IV Rutarindwa. Pemerintahannya hanya berlangsung singkat karena pada tahun yang sama ia digulingkan dalam kudeta berdarah oleh Yuhi V Musinga.
Tentara Jerman kemudian membantu raja baru tersebut meredakan setiap perlawanan di negara tersebut. Dengan meredanya perlawanan pada 1899, Rwanda secara resmi dimasukkan ke dalam wilayah Afrika timur Jerman dan diperintah melalui pemerintahan boneka Raja Musinga.
Dampak dari pemerintahan tidak langsung adalah pembagian penduduk Rwanda. Tujuannya untuk mengalihkan sentimen antikolonial dan kemarahan rakyat terhadap penjajah. Hal ini berdampak besar pada Rwanda pascakolonial karena akan menjadi sumber konflik internal dan kekerasan genosida yang terus-menerus.
Namun, Rwanda hanya menjadi koloni Jerman untuk waktu yang singkat. Dengan kekalahan Kekaisaran Jerman dalam Perang Dunia I, Rwanda diserahkan kepada Belgia sebagai bagian dari mandat Liga Bangsa-Bangsa. Pendudukan kolonial Belgia memiliki dampak yang jauh lebih lama di Rwanda.
Pemerintah kolonial Belgia memperkuat identitas Hutu dan Tutsi ke dalam kategori ras yang permanen dan ditentukan secara biologis. Sebelumnya, identitas ini bersifat cair, yang mana orang-orang dapat masuk dan keluar tergantung pada pekerjaan yang mereka lakukan dan status mereka di masyarakat.
Pemerintah kolonial menjadikannya penanda permanen orang-orang adalah Hutu atau Tutsi dan dilahirkan dalam salah satu dari keduanya. Orang-orang yang dikategorikan sebagai Tutsi kemudian diunggulkan untuk pekerjaan yang paling bergengsi dan dengan jumlah kekuasaan dan pengambilan keputusan yang lebih besar melalui kaum bangsawan dan raja.
Pemerintahan kolonial Belgia membangun opini bahwa Hutu dan Tutsi sebagai dua ras yang berbeda. Hutu adalah orang "Bantu" asli, dan Tutsi adalah penjajah "Hamitik." Pembagian ini menjadi katalisator kekerasan di Rwanda pascakolonial.
Pada tahun 1930, Mwami Musinga dicopot dari kekuasaannya karena perselisihan dengan penjajah Belgia dan digantikan oleh putranya, Rudahigwa. Diperkenalkannya Pengadilan Pribumi pada tahun 1936 akhirnya melucuti hampir semua kekuasaan yudisial Mwami. Pergeseran terakhir ini menyebabkan Mwami kehilangan sebagian besar kekuasaannya, yang pada gilirannya dilimpahkan kepada aristokrasi Tutsi yang setia kepada otoritas kolonial. hay/I-1
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 3 Kejati NTB Tangkap Mantan Pejabat Bank Syariah di Semarang
- 4 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 5 Pemerintah Diminta Optimalkan Koperasi untuk Layani Pembiayaan Usaha ke Masyarkat
Berita Terkini
- Warga Diminta Waspada, Gunung Ibu di Halmahera Barat Sudah Dua Kali Erupsi
- Meningkat, KCIC Sebut 100 Ribu Tiket Whoosh Terjual Untuk Momen Natal dan Tahun Baru
- Terus Meluas, Otoritas Victoria Keluarkan Perintah Evakuasi Akibat Kebakaran Semak
- Wamenhub Minta KCIC Siapkan Pengoperasian Stasiun Kereta Cepat Karawang
- Kesadaran Deteksi Dini Kanker Payudara Perlu Ditingkatkan