Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Koalisi Pascapilpres

A   A   A   Pengaturan Font

Tidak ada teman dan lawan yang abadi dalam politik.Yang ada hanyalah kepentingan. Adagium itu selalu muncul saat membahas tentang menteri-menteri yang akan dipilih presiden dan wakil presiden terpilih pascapemilihan umum. Itu pulalah yang terlihat setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden periode 2019-2024.

Kini perhatian publik tertuju pada komposisi kabinet yang akan dibentuk Presiden Joko Widodo pada periode kedua pemerintahan. Partai-partai koalisi Joko Widodo-ma'ruf Amin mulai minta jatah kursi menteri. Mereka yang dulu mendukung pasangan calon presiden-calon wakil presiden, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam pilpres 2019, sebagian kini mulai berbalik arah. Apalagi kubu Prabowo-Sandi memutuskan membubarkan Koalisi Adil Makmur. Mereka mulai merapat ke kubu lawan dan berharap diajak menjadi bagian rezim.

Pada Pilpres 2019, Joko Widodo- Ma'ruf Amin didukung 10 partai politik. Mereka adalah PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, Hanura, PSI, Perindo, PKPI dan PBB. Yang tidak lolos ke parlemen adalah Hanura, PSI, Perindo, PKPI dan PBB.

Jokowi-Ma'ruf sebaiknya tidak memaksakan diri membentuk koalisi gemuk atau tambun karena justru akan menjadi beban pemerintahan. Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf hanya membutuhkan koalisi yang kuat untuk mengamankan berbagai kebijakan dan programnya di parlemen. Koalisi kuat tersebut cukup dengan angka 60 persen penguasan parlemen. Dengan koalisi sekarang, Jokowi-Ma'ruf sebenarnya sudah bisa membentuk koalisi yang kuat itu.

Jika PAN, Demokrat atau Gerindra masuk dalam koalisi, justru bisa berdampak negatif terhadap soliditas koalisi Jokowi-Ma'ruf selama ini. Ini justru bisa membuat iri koalisi Jokowi-Ma'ruf yang sudah berkeringat memenangkan paslon tersebut. Apalagi jika PAN, Demokrat dan Gerindra masuk koalisi dan diberi jatah menteri.

Kubu Jokowi juga jangan terlalu pro aktif meminta PAN, Demokrat dan Gerindra bergabung. Apalagi dengan alasan untuk mendinginkan situasi dan tensi politik pascapilpres.

Memang sudah menjadi rahasia umum bahwa salah satu kendala serius presiden terpilih dalam membentuk kabinet adalah dominasi partai politik. Hal tersebut merupakan konsekuensi yang harus diterima seorang presiden terpilih akibat keberadaan koalisi partai-partai dan ketidakjelasan praktik sistem presidensial.

Empat kali reshuffle Presiden Joko Widodo selama 5 tahun periode pertama pemerintahan juga menunjukkan betapa kompromi-kompromi politik dengan partai politik koalisi harus diperbarui terus.

Tetapi pada periode kedua pemerintahan ini, Joko Widodo seharusnya lebih berani mengambil keputusan terkait pembentukan kabinet. Bila periode pertama terlihat kurang berani, publik masih dapat memahami. Maklum dia figur baru di kancah politik nasional, dan bukan penentu kebijakan di partai politik (sebagai ketua umum).

Dia terpaksa melakukan berbagai kompromi politik melalui empat kali perombakan kabinet. Namun, apabila pada periode kedua ini keberanian mengambil sikap politik tegas dalam pembentukan kabinet tersebut tidak juga terlihat, harus bersiap menghadapi gelombang kekecewaan publik.

Betapa pun ramainya pembicaraan di ruang publik seputar komposisi kabinet, harus dipahami penentu akhir pengisi pos kementerian adalah Presiden Joko Widodo. Itu merupakan hak prerogatifnya.

Mengabaikan kader-kader partai politik dalam pembentukan kabinet memang hampir mustahil dilakukan siapa pun presiden Indonesia di tengah ketidakjelasan sistem presidensial pasca-Orde Baru. Namun, tetap harus secara sungguh-sungguh dipastikan bahwa kader partai politik yang akan diangkat sebagai menteri di kabinet mendatang itu adalah orang-orang yang memahami betul apa yang harus dilakukan selama 5 tahun memimpin kementerian tersebut.

Komentar

Komentar
()

Top