Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
PERADA

Kisah Orang-orang Terbuang Mencari Tanah Harapan

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Buku ini terinspirasi kisah nyata seorang balita, Alan Kurdi, salah satu pengungsi Suriah yang tenggelam di Laut Mediterania dalam upaya meraih suaka di Eropa (hal terakhir).

Buku didedikasikan kepada ribuan pengungsi Suriah lainnya yang menghadapi nasib sama. Dengan prolog yang menggambarkan seorang ayah bersama anak balitanya beserta ribuan pengungsi, di bibir pantai, menantikan matahari terbit. Mereka bersiap menjelajahi lautan dengan kapal kecil mencari kehidupan baru. Itu harapannya.

Dalam perjalanan tersebut, bagaikan surat panjang, sang ayah bercerita kepada anaknya, Marwan, yang tertidur dalam dekapan. Isi cerita ketika mereka masih merasakan kedamaian di negeri sendiri.

Mereka masih merasakan kebahagiaan, ketenangan, serta kedamaian. Juga cerita tentang kampung halaman, kerabat, serta suasana penuh keakraban dan sukacita. Lelaki tersebut teringat kenangan indah, ketika istrinya, Ibunda Marwan, mengajak anaknya itu ke ladang menunjukkan kawanan sapi yang sedang merumput.

Sang ayah juga bercerita tentang sebuah kota tua, Homs, yang penuh ingar bingar orang berjual beli segala keperluan. Di situ berdiri masjid dan gereja berdampingan secara damai. Tapi semua sudah lenyap. Cerita-cerita, tempat-tempat, tinggal sebuah kenangan. Mereka menjadi legenda karena perang saudara.

Mereka kini menjadi orang yang terbuang dari negeri sendiri. Mereka tercerai-berai dari keluarga yang dicintai dan bersiap mengungsi menyeberangi lautan luas untuk mencari suaka dan belum tentu memperoleh. Mereka juga tidak yakin sampai tujuan ataukah menjadi bagian dari laut. Lelaki itu hanya bisa berdoa terutama untuk keselamatan putra satu-satunya yang tak ternilai harganya.

Buku ini sangat unik, tanpa angka pada tiap halaman dan tak banyak kata yang ditulis. Halaman demi halaman dihiasi ilustrasi. Sepintas seperti buku cerita anak-anak bergambar. Tapi isinya baik cerita maupun ilustrasinya memiliki kisah yang mendalam. Pembaca akan terbuai dengan cerita-cerita ketika Suriah masih berupa sebuah negeri indah, damai dan aman.

Buku berhasil menggambarkan buah mengerikan sebuah peperangan: keluarga terpisah, kematian dan darah menjadi pemandangan biasa yang menjadi bagian dari masa kecil seorang anak seperti Marwan. Begitu pula kawah yang tercipta dari hantaman bom menjadi kolam renang anak anak. Setiap hari manusia berpikir, giliran noda darah siapa besok akan menghitam di jalanan.

Ada juga gambaran sebuah perahu kecil dengan puluhan manusia berlayar di tengah lautan luas untuk mencari kehidupan baru yang damai. Mereka berharap dapat mendendangkan anak cucu tentang negeri indah yang pernah ada. Dalam kapal yang hanya berupa noktah kecil di tengah luasnya samudera yang bisa mereka lakukan hanya berdoa dan menatap lautan.

Mereka berdoa agar dapat sampai di tempat harapan dengan selamat. Atau paling tidak orang-orang terkasih dapat selamat menjemput impian. Hari-hari terasa sangat panjang baik malam maupun siang. Mereka diterpa angin laut, hujan, panas terik, dan gulungan ombak. Perbekalan makanan dan minuman sangat minim.

Hanya ada dua pilihan, terus berjuang mencapai harapan atau mati terombang-ambing di lautan. Tidak ada pilihan mundur. Khaleed Hosseini menulis kisah ini untuk memberikan penghormatan kepada jutaan keluarga yang tercerai-berai dan terusir dari tempat tinggalnya karena perang. Ini juga sebagai peringatan perang sangat menghancurkan.

Royaltinya akan disumbangkan kepada UNHCR serta yayasan Khaleed Hosseini guna membantu para pengungsi seluruh dunia.

Diresensi Lussya Edvinawaty, S1 Teknik IndustriInstitut Teknologi Nasional Malang

Komentar

Komentar
()

Top