'Kill Bill' Plus 'John Wick' Gaya Timo Tjahjanto
Aurora Ribero sebagai "13", pembunuh bayaran bernurani mulia dengan keahlian ala Ninja.
Foto: IstimewaSutradara berbakat, Timo Tjahjanto, baru-baru ini kembali menyuguhkan karyanya lewat Netflix. Bila sebelumnya dia bersama Kimo Stamboel kerap menghasilkan film horor bergaya "gore", senada, "The Shadow Strays" juga menyuguhkan aksi laga sadis seperti yang ditampilkan dalam "The Night Comes for Us" (2018).
Dengan koreografer laga tetapnya Muhammad Irfan (bekerja sama dengan sesama sutradara/koreografer laga Trisna Irawan), "The Shadow Strays" menekankan adegan berdarah yang memukau dan kekerasan yang tak berujung, menegangkan dan luar biasa, mendefinisikan kolaborasi terobosan Timo dan Irfan.
Sedikit klasik, ini tentang pembunuh seorang bayaran dengan skill papan atas dan good looking, namun mendapat "hidayah", saat nuraninya tersentuh rasa kemanusiaan ketika menemukan ketidakadilan dan penindasan terhadap orang di sekelilingnya tak berdaya. Tiba-tiba teringat dengan Uma Thurman dalam trilogi berdarah, "Kill Bill" (2003) yang harus berjuang melepaskan keanggotaannya dari sindikat assasin berdarah dingin karena ingin membesarkan bayi perempuan dalam kandungannya, atau John Wick (2014), saat Keanu Reeves rela melanggar semua aturan organisasi pembunuh bayaran rahasia, karena anjing kesayangannya dibunuh mafia Rusia?
Film ini banyak mengadopsi gaya bertarung jarak dekat ala John Wick oleh "13" (Aurora Ribero), sang karakter utama dalam menghadapi organisasi kriminal di Jakarta yang memiliki koneksi orang-orang penting termasuk oknum aparat baik, yang telah membantai tetangga rusunnya Monji (Ali Fikry). Ibu Monji, Mirasti (Jesyca Marlein). Pembunuh berusia 17 tahun yang tiba-tiba berhati mulia ini juga mengandalkan ilmu bela diri samurai, persis seperti Uma Thurman dalam Kill Bill.
Namun akting para cast lumayan meyakinkan, menyatu dengan koreografi aksi yang lugas, menjadi paket hiburan seru dan pelepas rindu untuk penyuka "Raid" (2011), The Night Comes For Us (2018), "Headshot" (2016),atau Serigala Terakhir (2019).
Di sini Timo, telah menjadi jauh lebih baik dalam menggunakan insting noir dibanding, ketika ia mulai memimpin film tanpa rekan sutradara lamanya Kimo Stamboel. Penyutradaraan adegan aksi Timo juga meningkat pesat dan tidak hanya menjadi lebih berani tetapi juga lebih dinamis dan halus sejak "Headshot", film solo pertamanya, dan juga kolaborasi pertamanya dengan Irfan. Tidak heran Netflix kepincut untuk menayangkan kisah ini.
Rentetan kekerasan dalam "The Shadows Stray" memantul dari satu titik benturan ke titik benturan berikutnya dengan cepat, lalu dengan mulus mengubah tempo dan ritme penyuntingan serta gerakan kamera agar sesuai dengan rangkaian langkah berikutnya.
Rober Ebert menyebut dedikasi Timo terhadap kebaruan konseptual dapat berseiring dengan kreativitas Irfan dan kerja kerasnya bersama tim pemeran pengganti. Bersama-sama, mereka menyusun serangkaian adegan yang hebat, dan mengerikan, yang mencapai klimaks dengan scene klasik, baku tembak di gudang mengingatkan kita pada "Hard Boiled" karya John Woo.
Redaktur: Selocahyo Basoeki Utomo S
Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Mai Hang Food Festival Jadi Ajang Promosi Kuliner Lokal Labuan Bajo
- 2 Prabowo Dinilai Tetap Komitmen Lanjutkan Pembangunan IKN
- 3 Otorita Labuan Bajo: Mai Hang Food ajang promosi kuliner lokal
- 4 Gelar Graduation Development Program Singapore 2024, MTM Fasilitasi Masa Depan Lebih Baik untuk Pekerja Migran
- 5 Natal Membangun Persaudaraan