Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Krisis Kemanusiaan I Saat Ini, Satu dari 22 Orang di Dunia Membutuhkan Bantuan

Kesenjangan Pendanaan Membuat Kerawanan Pangan Dunia Makin Parah

Foto : Sumber: World Food Programme 2022 - KORAN JAKARTA/
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Badan kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini melaporkan bahwa mereka hanya menerima 20 persen dana yang dibutuhkan untuk membantu masyarakat di seluruh dunia tahun ini yang diperkirakan sebesar 54,8 miliar dollar AS atau sekitar 822 triliun rupiah.

Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (Office for the Coordination of Humanitarian Affairs/OCHA) menyatakan kesenjangan pendanaan itu menimbulkan konsekuensi nyata, antara lain pada kerawanan pangan, kesehatan, dan perlindungan bagi jutaan orang.

"Kami mendorong para pendonor untuk terus berkontribusi dengan murah hati pada rencana-rencana untuk merespons masalah kemanusiaan. Dengan kebutuhan yang meningkat secara eksponensial, pendanaan kesulitan untuk mengimbanginya," sebut OCHA dalam pernyataannya.

Hingga pertengahan tahun ini, sudah 362 juta yang orang membutuhkan bantuan atau 13 juta lebih banyak dari jumlah orang yang membutuhkan bantuan pada awal tahun.

"Ini berarti satu dari 22 orang di dunia kini membutuhkan bantuan. Pendanaan yang tidak merata di seluruh situasi darurat dan sektor telah menantang kemampuan kami untuk merespons kebutuhan yang melonjak," kata OCHA seperti dikutip dari Antara.

OCHA mengatakan krisis-krisis yang kekurangan dana termasuk Myanmar, Afghanistan, Burkina Faso, Republik Demokratik (RD) Kongo, Somalia, dan Venezuela.

RD Kongo menjadi contoh tantangan yang dihadapi OCHA. Salah satu krisis kemanusiaan paling kompleks dan berkepanjangan di dunia yaitu RD Kongo yang membutuhkan bantuan sebesar 1,88 miliar dollar AS pada 2022. Pada tahun ini, negara tersebut membutuhkan 2,25 miliar dollar AS untuk menyediakan bantuan dan perlindungan bagi 10 juta orang.

Menanggapi kondisi tersebut, pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, Yohanes B Suhartoko, mengatakan kesenjangan pendanaan itu sangat mengkhawatirkan karena bisa membuat kerawanan pangan semakin parah.

"Kerawanan pangan harus menjadi perhatian serius dalam jangka panjang, apalagi perubahan iklim yang sering kali sulit diduga dan berdampak pada menurunnya produktivitas pangan," kata Suhartoko.

Selain itu, penyusutan lahan pertanian juga semakin cepat akibat industrialisasi. Oleh karena itu, teknologi pertanian harus fokus pada tantangan perubahan iklim dan peningkatan produktivitas. "Ketahanan pangan ke depan jangan dibangun di satu negara saja, tetapi diperluas dalam suatu kawasan atau regional, seperti kawasan Asia Tenggara," katanya.

Sementara itu, Deputi Asisten Utusan Khusus Presiden (UKP), Ahmad Yakub, mengatakan dampak krisis ekonomi sejak pandemi Covid-19 dan eskalasi resesi global karena konflik geopolitik, pembatasan ekspor, krisis energi, dan kegagalan panen akibat perubahan iklim telah mengganggu rantai pasok yang memicu naiknya harga beragam komoditas pangan.

Kenaikan harga pangan itu tentunya berdampak signifikan pada masyarakat miskin sebagai lapisan yang paling rentan terhadap gejolak ekonomi.

Pertaruhan Donatur

Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Brawijaya, Malang, Adhi Cahya Fahadayna, mengatakan konflik global trennya naik sehingga komitmen negara-negara donatur dalam memenuhi kenaikan kebutuhan dipertaruhkan.

"Pernyataan badan PBB itu menunjukkan kecenderungan kenaikan signifikan terhadap orang-orang yang mebutuhkan bantuan kemanusiaan di seluruh dunia. Hal ini sesuai dengan tren konflik internasional yang makin banyak dan intens, seperti konflik di Suriah, Afghanistan, Ukraina, Sudan, dan tempat-tempat lain," katanya.

Dengan tren konflik internasional meningkat, tentu pembiayaan PBB untuk melaksanakan misi bantuan kemanusiaan akan bertambah besar.

Pada kesempatan lain, peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan relasi sosial ekonomi global juga masih diwarnai ketidakadilan. Terlalu banyak sumber daya dan dana yang diambil dari negara miskin ke negara kaya melalui instrumen utang luar negeri dan investasi yang ditopang lembaga keuangan internasional.

"Relasi yang tidak seimbang terlihat pada ketimpangan kuasa produksi dan tata niaga pangan yang memicu krisis pangan global," kata Awan.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top