Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Ekonomi Global

Kenaikan Harga Minyak Mentah Momentum Percepat Transisi Energi

Foto : Sumber: Bloomberg - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Ekonom Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan dengan pemangkasan minyak yang dilakukan OPEC dan berlanjutnya risiko kenaikan harga minyak mentah, sebenarnya menjadi momentum mempercepat transisi energi.

"Kita perlu melihat baik Russia maupun Saudi Arabia menikmati harga minyak mentah yang tinggi dan ini sebenarnya buruk bagi banyak negara net importir minyak seperti Indonesia," kata Bhima Yudisthira kepada Koran Jakarta, Kamis (10/11).

Sebagaimana diberitakan, Kepala Badan Energi Internasional (IEA) mengatakan pada Rabu (9/11/2022) atau Kamis (10/11) WIB bahwa harga minyak "yang bercumbu dengan 100 dollar AS" adalah risiko nyata bagi ekonomi global. Dia pun menambahkan terkejut dengan keputusan OPEC+ untuk memangkas produksi pada pertemuan 5 Oktober.

Pengamat iklim dan energi hijau dari Universitas Brawijaya, Malang, Adi Susilo, mengatakan, polemik harga minyak yang terus berlangsung menunjukkan bahwa upaya transisi menuju energi terbarukan adalah sesuatu keharusan.

"Sulit untuk selalu berharap agar harga minyak dipatok sesuai kemampuan negara-negara karena tentu pada akhirnya ini akan berpulang pada para produsen, dalam hal ini OPEC+. Memang tidak mungkin mengandalkan OPEC+ akan mengikuti kemauan dunia, justru negara-negara yang harus tunduk apa kata mereka, kata Adi Susilo.

Karenanya, tidak ada jalan lain kecuali dengan mencari energi pengganti yang sifatnya berkelanjutan, ramah terhadap iklim dan tersedia di mana-mana supaya tidak didikte harganya. Tinggal bagaimana kemauan dan kemampuan negara-negara konsumen OPEC ini untuk memutuskan sejauh mana mereka akan melangkah. "Seharusnya dengan climate change yang semakin mengkhawatirkan, itu dipercepat," tutur Adi.

Kurangi Ketergantungan

Lebih lanjut, Bhima Yudisthira menambahkan, Periode Januari-September 2022 defisit migas menembus 18,8 miliar dollar AS melebihi total defisit migas sepanjang 2021.

Dengan percepatan transisi ke EBT maka oil shock tidak akan banyak berpengaruh ke biaya energi yang dikeluarkan masyarakat.

"Harusnya momen G20 dan COP27 membuat pemerintah semakin konkret melakukan rencana anggaran dan pemberian insentif untuk transisi ke EBT. Jangan hanya sekadar wacana," tukas dia.

Sementara itu, Pengamat Energi, Mamit Setiawan, mengatakan dengan semakin mahalnya harga bahan bakar minyak (BBM) saat ini maka sudah sepatutnya kita mulai memikiran untuk mengurangi ketergantungan akan BBM.

Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) serta energy storage dengan kapasitas besar dan murah. "Dengan beralih ke kendaraan listrik maka ketergantungan akan BBM bisa berkurang. Ke depan, suplai listrik juga tidak berbasis batu bara, tetapi dengan pengembangan EBT," ucap Mamit.

EBT yang bersifat intermittent dan tidak bisa menjadi baseload dengan adanya energy storage maka bisa menjadi baseload. "Selain itu, tambahnya, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), geotermal bisa menjadi solusi dalam meningkatan EBT yang bisa menjadi baseload," ungkap Mamit.


Redaktur : Redaktur Pelaksana
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top