Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebijakan Moneter - Bank Sentral Mesti Manfaatkan Ruang Kenaikan Bunga

Kenaikan Bunga Acuan BI Belum Cukup Redam Rupiah

Foto : KJ/Ones
A   A   A   Pengaturan Font

>>BI Rate belum akan maksimal meredam pelemahan rupiah jika belum sampai 7,5 persen.

>>BI diharapkan tidak terlambat lagi dalam merespons dampak kenaikan bunga The Fed.

JAKARTA - Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia, BI-7 Day Reverse Repo Rate, sebanyak dua kali pada bulan lalu menjadi 4,75 persen dinilai belum cukup untuk meredam pelemahan kurs rupiah terhadap dollar AS.

Bank Indonesia (BI) diharapkan memanfaatkan ruang yang tersedia untuk kembali menaikkan bunga acuan guna mengantisipasi tekanan depresiasi rupiah.

Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Imron Mawardi, menilai BI masih memiliki cukup ruang untuk menaikkan suku bunga acuan guna mencegah pelarian modal asing (capital outflow) dari pasar Indonesia.

Menurut dia, menaikkan bunga acuan BI merupakan konsekuensi yang tidak terelakkan. Sebab, rupiah masih terancam dampak kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) pada waktu-waktu mendatang.

"Tahun ini masih ada peluang The Fed menaikkan suku bunga sampai tiga kali, dan kemungkinan pada 2019 sampai empat kali. Ini akan mendorong capital outflow dari pasar Indonesia menuju pasar AS yang lebih menjanjikan," ungkap dia, ketika dihubungi, Jumat (1/6).

Sebelumnya dikabarkan, BI menyatakan mulai mengubah arah kebijakan moneter dari cenderung netral menjadi bias ke pengetatan. Itu berarti dalam beberapa waktu ke depan bank sentral tidak akan menurunkan suku bunga.

Bahkan, BI memberikan sinyalemen untuk menaikkan kembali suku bunga acuan untuk ketiga kalinya pada tahun ini. Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tambahan, Rabu (30/5), memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 4,75 persen.

Kenaikan suku bunga itu merupakan kali kedua dalam bulan ini. Sebelumnya, dalam RDG 16-17 Mei lalu, BI juga menaikkan suku bunga sebesar 25 bps menjadi 4,5 persen.

Imron memaparkan meski BI sudah menaikkan bunga acuan, namun investor asing masih menganggap tingkat bunga itu masih rendah. Sebab, inflasi Indonesia berkisar 3,6-4,5 persen sehingga tingkat keuntungan riil masih tipis.

"Apalagi ditambah dengan faktor risiko volatilitas rupiah, dan risiko politik. Jadi kenaikan suku bunga BI tidak terelakkan," tutur dia.

Sejumlah kalangan juga mengemukakan hal senada. Bahkan, bunga acuan BI dinilai belum akan maksimal meredam pelemahan rupiah jika belum sampai ke level 7,5 persen.

Berdasarkan data BI, ketika bank sentral masih menggunakan BI Rate sebagai bunga acuan, tingkat bunga itu pernah mencapai 7,75 persen pada akhir 2014, dan stabil di level 7,50 persen pada hampir sepanjang 2015.

Kemudian mulai awal 2016, BI Rate berangsur turun menjadi 7,25 persen, hingga akhirnya mencapai 6,50 persen pada Juli 2016.

Berkaitan dengan upaya penguatan kerangka operasi moneter, BI memperkenalkan suku bunga acuan atau suku bunga kebijakan baru yaitu BI 7-Day Repo Rate, yang berlaku efektif sejak 19 Agustus 2016.

Saat itu, BI 7-Day Repo Rate berada di level 5,25 persen. Pada saat BI Rate berada di tingkat 7,5 persen, nilai tukar rupiah berdasarkan kurs tengah BI, sempat menyentuh titik terlemah di 14.728 rupiah per dollar AS pada 29 September 2015.

Pergerakan rupiah itu dinilai serupa dengan kondisi bulan lalu ketika mata uang RI kembali menembus titik terlemah sejak September 2015 di level 14.200 rupiah per dollar AS.

Jadi Pelajaran

Peneliti Indef, Bhima Yudhistira, mengemukakan kebijakan BI menaikkan bunga acuan sudah tepat, tapi belum cukup kuat untuk menjinakkan tekanan depresiasi rupiah.

Bunga acuan perlu dinaikkan lagi setidaknya 25 bps untuk meningkatkan sentimen positif pelaku pasar, terutama pascakenaikan bunga The Fed yang kedua pada Juni mendatang.

Sebelumnya, BI dinilai terlambat merespons kenaikan bunga acuan The Fed pada Maret lalu, sehingga rupiah sempat terpuruk menembus level psikologis 14.200 rupiah per dollar AS.

"Ini bisa jadi pelajaran ke depan untuk selalu ahead the curve atas potensi naiknya bunga The Fed," kata Bhima. Menurut dia, kenaikan bunga acuan BI juga berimbas pada penurunan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN).

Pada penutupan perdagangan Kamis lalu, yield SBN tenor 10 tahun telah berangsur turun dari titik tertinggi 7,75 persen menjadi 7,43 persen atau berkurang 32 bps.

Penurunan yield itu mengindikasikan ekspektasi investor terkait harga SBN yang akan naik dalam waktu dekat, sehingga arus modal asing diharapkan kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia.

"Saat ini, yield spread antara US Treasury bond dan SBN makin sempit di kisaran 450 bps, dari sebelumnya 480 bps," jelas Bhima.

Sedangkan ekonom Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Aloysius Gunadi Brata, mengatakan dalam ketidakpastian global, investor cenderung mengalihkan dana ke pasar yang dinilai aman atau flight to safety, yakni di pasar AS.

Apalagi, ditambah dengan data ekonomi negara itu yang membaik dan kenaikan suku bunga acuan The Fed. ahm/SB/YK/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top