Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kemandekan Tunggal Putri

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Nurul Indah Kemala

Pergelaran Asian Games 2018 telah usai. Indonesia mencapai sukses. Namun euforia Asian Games masih bisa dirasakan. Berkat ajang olahraga terbesar di Asia yang beberapa waktu lalu tayang di beberapa tv swasta, antusiasme masyarakat Indonesia terhadap olahraga pun meningkat, termasuk bulu tangkis. Apalagi saat Asian Games 2018 kemarin terjadi momen kebangkitan bulu tangkis Indonesia pada sektor tunggal putra yang berhasil meraih emas melalui Jonatan Christie.

Bulu tangkis tunggal putra Indonesia selama ini mati suri. Terakhir, Indonesia meraih emas Asian Games melalui Taufik Hidayat tahun 2006. Ini berarti perlu 12 tahun agar emas bulu tangkis tunggal putra bisa kembali pulang ke Indonesia. Pencinta bulu tangkis Indonesia sebenarnya mengharapkan All Indonesian Final tunggal putra Asian Games 2018 antara Anthony Sinisuka Ginting dan Jonatan Christie. Sayang, Ginthing kandas di semifinal. Beruntung, Jojo (panggilan akrab Jonatan) mampu membalaskan kekalahan Ginthing atas pemain Taiwan, Chou Tien Chen, dan meraih emas. Jojo berhasil menundukkan Chou Tien Chen melalui rubber game 21-15, 51-21 dan 21-19.

Sebelumnya, Jojo berhasil meraih emas Sea Games 2017, sehingga seakan memantapkan langkahnya dengan berhasil meraih emas di Asian Games 2018. Selain melalui sektor tunggal putra, emas juga diraih dari pasangan ganda putra Indonesia, Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo (Minions). Sementara itu, untuk sektor ganda campuran, ganda putri, dan tunggal putri gagal total.

Tunggal putri belum bisa berbicara banyak. Sektor ini memang terus mengalami kemunduran. Setelah ditinggal Susy Susanti dan Mia Audina, perkembangan bulu tangkis tunggal putri berjalan di tempat. Tentunya para pencinta bulu tangkis Indonesia merindukan gelar dari tunggal putri.

Bibit tunggal putri sendiri sebenarnya banyak yang potensial, seperti Gregoria Mariska, Fitriani, dan Ruselli Hartawan. Hanya, mereka masih memiliki beberapa titik kekurangan sehingga belum bisa mengepakkan sayapnya lebih tinggi. Mereka belum memiliki mental juara dan pukulan belum matang. Teknik, strategi, keuletan, dan stamina masih lemah.

Dibanding tunggal putri negara lain, tunggal putri kita masih tertinggal jauh. Sebut saja, Tai Tzu Ying asal Taiwan, Nozomi Okuhara dan Akane Yamaguchi dari Jepang, atau Ratchanok Intanon dari Thailand. Mereka memiliki serangan, strategi pertahanan, keuletan, serta mental juara yang baik. Jadi, tidak heran nama-nama tersebut terus menempati tempat tertinggi ranking BWF.

Kebanyaan atlet kita belum memiliki mental juara. Sering kali jika sudah tertinggal jauh, mereka langsung "mati gaya" seolah tidak tahu harus melakukan apa. Sebaliknya, saat sudah memimpin skor pun, sering sekali membuang angka dengan mudah. Kemudian, saat lawan sudah mulai mengejar, mereka selalu kurang tenang dan akhirnya kalah.

Selain nutrisi dan menu latihan, mental juga memegang peranan penting agar para atlet bisa tetap fokus dan tenang meski dalam keadaan tertinggal atau tertekan sekalipun. Untuk ganda campuran, kita selalu bergantung pada pasangan Tontowi-Lilyana, yang sekarang sudah mundur. Pelatih seharusnya lebih membuka mata dan sadar untuk tidak selalu berharap pada pasangan senior ini.

Sanksi

Pelatih harus selalu meracik pasangan baru untuk menjadi pelapis, sehingga tidak gagap saat harus kehilangan pasangan senior. Jangan ragu untuk membongkar pasang jika dirasa kedua pemain sudah tidak bisa berkembang. Jangan tetap mempertahankan pasangan hanya karena "sayang" dengan ranking. Jika sudah tidak menyumbang kemenangan lagi, bongkar saja dan mencoba racikan baru. Perlu juga mendatangan psikolog untuk membantu atlet mendapat kepercayaan diri atau menemukan biduk permasalahan internal.

Perlu juga diadakan momen kebersamaan untuk para atlet, khususnya yang bermain berpasangan agar lebih klop di lapangan. Para atlet juga perlu belajar menahan ego masing masing agar tidak saling ngambek saat rekannya melakukan kesalahan dalam laga. Sebab hal ini bisa memberi pengaruh negatif pada performa masing masing.

PBSI wajib mengambil keputusan tegas kepada para pelatih yang terbukti gagal mencetak juara. Demikian juga dengan para pemain itu sendiri. PBSI harus tegas memberi semacam sanksi bila pemain tidak menunjukkan peningkatan. Kirim mereka bertanding di level yang lebih rendah. Contoh, jika di level 500 mereka tidak bisa berprestasi, kurangi level bertandingnya lagi. Begitu seterusnya, sampai akhirnya dikeluarkan dari pelatnas, kalau sudah mentok.

Jangan memaksakan pemain tetap mengikuti pertandingan di level yang mereka sendiri sulit menggapai. Para pecinta bulutangkis sudah lelah para pemain terus gugur di babak-babak awal. Seakan mereka pergi ke negeri bukan untuk bertanding, hanya sebagai turis. Jika atlet tersebut sulit berkembang, PBSI harus tegas dan lebih baik mengembalikan ke klub asal.

Bosen setiap mengalami kekalahan, pemain dan pelatih selalu bilang akan dievaluasi. Tapi mau sampai kapan evaluasi? Mau evaluasi berapa kali lagi? Rakyat Indonesia merindukan sebuah kemenangan, bukan ribuan evaluasi. Rakyat merindukan sorak kemenangan. Beruntung masih ada ganda putra yang sering berhasil melakuan regenerasi, seolah tidak pernah kehabisan stok.

Pelatih Herry IP dan Aryono berhasil menciptakan formula-formula baru bagi ganda putra. Setelah Hendra Setiawan/Markis Kido, Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan, dunia dikejutkan kemunculan Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo yang kini menjadi "monster" ganda putra. Lalu sekarang muncul Muhammad Rian Ardianto/Fajar Alfian yang sukses menunjukkan taring di Asian Games 2018 dengan membawa pulang medali perak.

Tentunya keberhasilan regenerasi ganda putra diharapkan tidak pernah terputus dan bisa diikuti sektor-sektor lain, terutama tunggal putri. Masyarakat sangat merindukan kebangkitan bulu tangkis Indonesia yang pernah merajai dan ditakuti negara lain. Dulu, mendengar nama Indonesia saja, lawan sudah gentar.

Rakyat merindukan para pemain bulu tangkis berdiri di podium tertinggi setiap turnamen, sehingga Sang Saka Merah Putih berkiar dan Indonesia Raya berkumadang. Sesungguhnya, olahraga salah satu cara untuk mempersatukan bangsa tanpa peduli warna kulit, rambut, mata, suku dan agama. Lewat olahraga, kita semua berdiri di bawah bendera yang sama, Merah Putih.


Penulis Supporter Bulutangkis Indonesia

Komentar

Komentar
()

Top