Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Krisis Perbankan

Kekhawatiran Gagal Bayar di AS Bisa Merembet ke Negara Berkembang

Foto : ANDREW CABALLERO-REYNOLDS/AFP

Menteri Keuangan AS, Janet Yellen

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Tarik ulur mengenai upaya memperluas penjaminan dana pihak ketiga (DPK) atas simpanan nasabah yang ditempatkan di bank-bank Amerika Serikat (AS) kembali membuat pasar keuangan bergejolak.

Indeks KBW Bank, yang dihuni saham dari 24 bank besar dan menengah, turun hampir 5 persen, membalikkan semua keuntungan yang didapat setelah komentar Yellen di asosiasi bankir pada Selasa (21/3).

Penurunan tersebut membebani S&P 500 yang lebih luas, dengan bank-bank menjadi tujuh dari 10 pemain terburuk yang menjadi acuan indeks. First Republik Bank memimpin penurunan dengan penurunan 15 persen, disusul Comerica, M&T Bank, dan US Bancorp masing-masing turun lebih dari 7 persen.

Saham PacWest, bank yang berbasis di Beverly Hills, juga turun 17 persen, setelah kehilangan 20 persen dari simpanannya tahun ini.

Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan banyak bank di AS terutama bank regional dana nasabahnya tidak mendapat penjaminan secara memadai. "Ini perlu jadi perhatian bagi otoritas perbankan di Indonesia," kata Bhima.

Sebab, efek domino kekhawatiran gagal bayar perbankan di AS bisa merembet ke sektor keuangan di negara berkembang.

Selain itu, psikologis investor untuk menghindari suntikan dana berlebihan ke perbankan akan memicu pengetatan likuiditas.

"Sejauh ini memang dampaknya kecil ke perbankan Indonesia, tetapi tidak bisa diremehkan karena pemicu gagal bayar berasal dari negara maju dan sistem keuangan domestik semakin terintegrasi dengan keuangan global pascakrisis 2008," kata Bhima.

Tidak Ringan

Sementara itu, pengajar Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Y Sri Susilo, mengatakan apa yang menimpa bursa Amerika bisa dipahami sebab dalam konteks kebijakan, otoritas moneter dan otoritas fiskal selalu sinkron.

Saat gonjang-ganjing akibat kolapsnya SVB Bank, pernyataan Gubernur Bank Sentral AS dan Menkeu yang memegang otoritas moneter dan fiskal malah bertentangan.

"Sangat wajar kalau reaksi pasar negatif. Sebab pasar uang, sekuritas, kurs, itu sangat sensitif terhadap kebijakan, pernyataan, maupun perubahan kondisi di pasar yang tiba-tiba.

Apa yang terjadi adalah sebagai bentuk ketidakseimbangan pasar karena shock atas ketidaksinkroninan kebijakan fiskal dan moneter," kata Susilo.

Ketidaksinkronan kebijakan the Fed dan otoritas fiskal pemerintahan AS itu juga menandakaan bahwa apa yang saat ini menimpa sistem perbankan Amerika bukan sesuatu yang ringan. Dengan sistem finansial yang terintegrasi secara global maka gejolak yang terjadi di AS bisa langsung berdampak ke bank-bank dalam negeri.

Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, pada Rabu (22/3), mengatakan pemerintah mengesampingkan wacana perluasan penjaminan simpanan untuk melindungi pemilik dana di atas 250 ribu dollar AS. Hal itu bertentangan dengan pernyataan sebelumnya kalau pemerintah AS akan memperluas penjaminan guna mencegah penarikan dana (rush) oleh nasabah.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top