Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kejahatan Perang Westerling yang Lolos dari Hukum

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Kasus kejahatan perang pada dasarnya tidak pernah mengenal kedaluwarsa. Namun pada kasus pembantaian massal yang dilakukan Westerling dan anak buahnya, sampai kini tidak pernah memasuki proses hukum di Belanda.

Setelah kemenangan sekutu Perang Dunia II dan Jepang menyerah tanpa syarat pada 15 Agustus 1945, dengan demikian terjadi kekosongan pemerintahan (vacuum of power) di Indonesia. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk kembali ke Indonesia pada 8 September 1945.
Netherlands Indies Civil Administration (NICA) membonceng Sekutu yang mewakili pemerintah Belanda. Mereka masuk melalui beberapa pintu wilayah Indonesia. Terutama daerah yang merupakan pusat pemerintahan pendudukan Jepang seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Kembalinya Belanda didasari oleh terjadinya perundingan Belanda dan Inggris di London, setelah Perang Dunia II, yang menghasilkan Civil Affairs Agreement. Isi Civil Affairs Agreement adalah tentang pengaturan penyerahan kembali Indonesia dari pihak Inggris kepada Belanda.
Kedatangan Belanda tentu saja mendapat perlawanan dari masyarakat. Apalagi pada 17 Agustus 1945 Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya. Permusuhan yang terjadi di berbagai tempat beberapa diantaranya melahirkan tragedi pembantaian massal yang termasuk dalam kejahatan perang.
Namun selama beberapa dekade, pihak berwenang Belanda terus menyangkal, meremehkan, dan membiarkan kejahatan perang yang dilakukan oleh Belanda di Indonesia tanpa hukuman. Mereka menutup-nutupi hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Maurice Swirc (1970) dalam bukunya De Indische Doofpot.
Penulis melukiskan gambaran pedih tentang sebuah negara yang sering mengkritik orang lain tentang hak asasi manusia, tetapi tidak selalu menganggap serius kejahatan perang yang dilakukan. Dalam tulisannya Swirc didukung banyak dokumen yang belum pernah dikonsultasikan sebelumnya.
Swirc mempertanyakan kelanjutannya dengan tiga potongan sejarah besar. Bagian besar itu adalah laporan pengacara Kees van Rij dan Wim Stam (1954), Excess Memorandum (1969) dan Verjaringswet (1971). Ia menyebut penanganan resmi Belanda atas kejahatan perang yang dilakukan di Indonesia.
"Sejarah panjang penyangkalan, kebohongan, penyembunyian, pelatihan dan pengabaian oleh otoritas Belanda," tulis dia dalam buku tersebut.
Sepanjang 1945-1948, tentara Belanda sering melakukan kejahatan perang dan telah diketahui oleh sebagian besar masyarakat umum. Apalagi sejak disertasi sejarawan Rémy Limpach berjudul De Burning Kampongs van Generaal Spoor atau Kampung-kampung yang Terbakar dari Jenderal Spoor yang diterbitkan pada 2016.
Namun komandan tentara India Jenderal Simon Spoor menyangkal itu sebagai tindakan kejahatan. Ia pernah meyakinkan beberapa kali bahwa bukan hanya itu bukan niat untuk melakukan kejahatan perang, tetapi jika itu memang terjadi, tindakan tegas akan diambil terhadap mereka.

Aksi Kebrutalan
Selama periode empat tahun itu sekitar 200.000 tentara dikerahkan Belanda. Selain kejahatan kecil diantara mereka melakukan kejahatan perang, seperti pembunuhan massal, penyiksaan, penjarahan, pembakaran desa, pemilahan keluarga tanpa pandang bulu dengan peluru dan pemerkosaan massal. Salah satu yang terberat adalah tindakan Kapten Raymond Westerling dan para pengikutnya di Sulawesi Selatan (akhir 1946, awal 1947).
Aksi brutalnya yang dilakukan antara 1946-1947 telah mengakibatkan banyak kematian. Aksinya disebut mendapat dukungan dari otoritas tertinggi Hindia Belanda kala itu yaitu Jenderal Spoor, Letnan-Gubernur Jenderal Van Mook dan Jaksa Agung Felderhof.
Pada 11 September 1950, Dewan Menteri membahas kasus Sulawesi selatan. Mereka menyimpulkan, seperti sebelumnya, tidak ada penuntutan yang akan dilakukan. Dikatakan (sekali lagi) bahwa situasi di Sulawesi selatan pada waktu itu luar biasa dan Westerling beroperasi dengan persetujuan pihak berwenang di Batavia sehingga Komite Enthoven membebaskannya dari tuntutan.
Swirc dalam bukunya heran mengapa penuntut yaitu anggota panitia tersebut adalah WJH (Wim) Stam, Wakil Jaksa Penuntut Umum di Zutphen, C (Kees) van Rij, begitu lama mereka mempresentasikan laporan mereka kepada Menteri Wilayah Luar Negeri.
Menurut dia aksi militer itu benar-benar ilegal, sehingga penuntutan kepada para pelaku dimungkinkan termasuk kepada, pejabat sipil, militer, dan mantan peradilan tertinggi.
Atas peristiwa itu pemerintah lebih suka tidak mendengarnya. Oleh karena itu, Menteri Kehakiman Leendert Donker mengatakan hukum Belanda tidak memiliki ringkasan atau hukum darurat.
Menurut pengacara Guus Belinfante bahwa mantan pejabat pemerintah India (militer dan sipil) yang dapat didakwa dengan hasutan untuk melakukan pembunuhan, dan ia menulis bahwa 'bola salju kemudian bergulir'. Menurut Swirc, tidak dapat dihindari pernyataan Belinfante itu berarti bahwa pihak berwenang di Den Haag juga dapat dimintai pertanggungjawaban.
Dalam kata-kata Swirc, Van Rij dan Stam itu menghebohkan Binnenhof atau parlemen Belanda. Dewan Menteri membutuhkan tidak kurang dari dua pertemuan (20 dan 27 Desember 1954) untuk menentukan apa yang harus dilakukan. Pada akhirnya diputuskan oleh mayoritas untuk tidak mengadili siapa pun dalam kasus Sulawesi selatan.
Swirc menyebut keputusan kabinet untuk tidak mengadili siapa pun dalam kasus Sulawesi selatan sebagai sebuah preseden penting untuk semua kejahatan perang yang dilakukan di bawah bendera Belanda di Indonesia dan sebuah preseden yang mengarah pada kebijakan impunitas pemerintah selama beberapa dekade.
Bertahun-tahun kemudian Drees mencoba mengingatkan kembali tanggung jawabnya atas kejahatan perang Belanda di Indonesia. Sayangnya laporan Van Rij/Stam menghilang ke dalam laci yang dalam di Den Haag setelah keputusan Dewan Menteri. Parlemen tidak diizinkan untuk mendengar atau melihat apapun. hay/N-3

Sikap Belanda yang Membingungkan

Namun saat kabinet Belanda telah menutup kasus, tuntutan untuk membuka pengadilan kasus pembunuhan massal yang dilakukan Kapten Raymond Westerling dan para pengikutnya di Sulawesi selatan kembali muncul.
Wawancara untuk televisi VARA pada 17 Januari 1969 kepada veteran Hindia Belanda bernama Joop Hueting menjadikan topik ini terangkat kembali. Di Dewan Perwakilan Rakyat, pemimpin Partij van de Arbeid (PvdA) mencoba untuk memulai penyelidikan parlemen. Sayangnya upaya itu gagal.
Maurice Swirc dalam bukunya De Indische Doofpot (1970) menulis bahwa Kabinet Perdana Menteri Petrus Jozef Sietse "Piet" De Jong memang membentuk komite untuk memeriksa arsip itu akan berujung pada apa yang dulu dan biasa disebut sebagai excess memorandum.
Sebagian besar pekerjaan penelitian berakhir di pundak satu orang yaitu sejarawan/pengacara dan pegawai negeri di Kementerian Kehakiman, Cees Fasseur. Selanjutnya ia dikenal sebagai profesor di Leiden dan bahkan lebih sebagai penulis biografi Wilhelmina.
Selama penelitiannya pada 1969, ia juga mendapatkan akses ke arsip Stam dan Van Rij yang dibawa Stam ke Den Haag. Stam sendiri telah meninggal pada 1958. Sayangnya Fasseur hampir tidak melakukan apa-apa dengan arsip tersebut. Ia membawa pulang arsip Van Rij/Stam setelah penyelidikan. Kisah-kisahnya kemudian menunjukkan bahwa dia ingin menjauhkannya dari mata publik.
Menurut Swirc, Fasseur seperti ingin melindungi tentara bernama yang dicurigai melakukan kejahatan perang tetapi tidak dihukum. Bertahun kemudian ia menyatakan secara 'tidak sengaja' menemukannya di loteng, dia menyerahkan arsip sebagaimana mestinya kepada Kementerian Kehakiman dan Algemeen Rijksarchief (sekarang Arsip Nasional).
Mantan arsiparis Kementerian Kehakiman, Cees Rooijackers, merujuk cerita-cerita itu ke Swirc ke dunia dongeng. Rooijackers sendiri menyimpulkan pada 1986 arsip Van Rij/Stam yang telah lama hilang hanya bisa berada di satu tempat di rumah Fasseur. Tapi hal itu dibantahnya.
Sementara itu, penelitian arsip tentang jejak kejahatan perang Hindia Belanda adalah pekerjaan yang terburu-buru bagi Fasseur pada 1969. Dia sendiri kemudian berbicara tentang metode yang agak improvisasi.
Fasseur mengumpulkan 76 kekerasan yang berlebihan, cukup sedikit mengingat waktu yang dimilikinya sangat terbatas. Tapi itu bahkan bukan gambaran perkiraan.
Bagi Perdana Menteri Piet de Jong dari Partai Rakyat Katolik (KVP), sudah jelas sikapnya mendukung penyelidikan dan upaya peradilan. Jong mengakui terjadi tindakan berlebihan, tetapi angkatan bersenjata di Hindia Belanda secara keseluruhan tidak dapat disalahkan.
Mengacu pada pendapat sejarawan Rémy Limpach pada 2016 mengatakan, kekerasan massal dan kejahatan perang terjadi secara struktural, namun angkatan bersenjata secara keseluruhan telah berperilaku baik.
Menteri Kehakiman Carel Polak dari Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) berpendapat bahwa excess memorandum berisi terlalu sedikit materi untuk dapat menilai apakah kejahatan perang sistematis telah dilakukan atau tidak. Perdana Menteri De Jong tidak mau mendengarnya. hay/N-3

Baca Juga :
Surga bagi Bajak Laut

Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top