Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Senin, 02 Des 2024, 06:10 WIB

Kebingungan Hindia Belanda Hadapi Malaria dan Kolera

Foto: Tropenmuseum - Wikimedia Commons

Wabah penyakit menular seperti malaria dan kolera yang terjadi di Hindia Belanda menarik perhatian pemerintah penjajah. Pemerintah memiliki beberapa dokumentasi apa yang terjadi meskipun tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.

1733069758_c2b2e856b47f47379a2c.jpg

Foto: Tropenmuseum - Wikimedia Commons

Pada zaman Hindia Belanda, penjajah pernah menghadapi penyebaran penyakit dalam skala besar. Hindia Belanda, menurut Humphrey de la Croix, pemimpin redaksi Indische Historisch.nl, telah mengalami beberapa periode epidemi.

Dalam artikel pertama dari seri dua artikel itu ia memberi gambaran singkat tentang periode 1700 hingga 1900. Sebelum Belanda datang, tidak ada epidemi yang dapat diketahui. Namun para kurun waktu 1600 hingga 1700, sumber-sumber Belanda menyebut malaria sebagai penyakit yang umum.

Di Batavia atau Jakarta kini, wabah malaria sangat dikenal. Kota ini terletak di daerah rawa yang banyak terdapat nyamuk yang menularkan penyakit ke manusia. Diketahui bahwa manusialah yang menyebabkan penyebaran penyakit malaria.

Sejak tahun 1733 dan seterusnya, kolam ikan air asin telah dibangun di utara kota. Daerah tersebut terdiri dari tanah berlumpur yang telah tertimbun lumpur. Air kolam yang payau sangat ideal bagi pertumbuhan nyamuk jenis Anopheles sundaicus yang menyebabkan parasit plasmodium.

Sebelum pembangunan kolam, pasang surut memberi keseimbangan alami. Air tersebut membunuh beberapa jentik nyamuk. Di kolam tertutup, efek stabilisasi pasang surut dihilangkan hingga larva nyamuk tersebut mampu menetas secara massal tanpa hambatan.

Wabah malaria pertama yang merebak berlangsung pada tahun 1733 hingga 1738. Batavia menarik banyak masyarakat baik dari dalam maupun luar negeri yang biasanya tidak kebal terhadap penyakit malaria. Banyak pendatang baru yang tidak memiliki sistem kekebalan tubuh yang secara alami, bekerja pada masyarakat Batavia.

Hal ini mengakibatkan penyebaran penyakit secara besar-besaran. Jumlah korbannya banyak. Setengah dari anak-anak meninggal dalam waktu dua tahun setelah lahir. Angka yang sama juga berlaku bagi pendatang baru di kota ini. “Periode 1733 – 1738 merupakan fase awal epidemi. Setelah itu, malaria kronis bertahan hingga akhir abad ketujuh belas. Banyak orang jatuh sakit setelah tahun 1738 dan selama bertahun-tahun. Penduduk Batavia secara struktural tidak sehat,” ujar de la Croix.

Hal ini terlihat dari angka berikut. Dari tahun 1733 hingga 1795, 85.000 personel Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) meninggal karena sakit dan kondisi hidup yang buruk. Tidak ada informasi yang diketahui tentang penduduk asli dan penduduk non-Eropa lainnya. Dipastikan jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan jumlah penduduk Eropa.

Konsekuensinya bagi perekonomian adalah kekurangan personel dan tekanan terhadap perdagangan dan cara-cara lain untuk menghasilkan uang. Staf harus terus direkrut untuk menggantikan yang meninggal.

Betapa tidak menariknya bekerja di wilayah yang kondisi kesehatan strukturalnya sudah menjadi hal biasa. Pengetahuan medis belum mencapai titik di mana penyakit dapat diberantas. Sedangkan mengembangkan kekebalan membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun atau tidak sama sekali.

Buruknya kesehatan di Batavia dan lokasi lainnya tentunya turut berperan dalam kemunduran dan berakhirnya VOC sekitar tahun 1800, menurut PH van der Brug, dalam laporan Malaria en Malaise De VOC in Batavia in de Achttiende Eeuw (1994).

Epidemi Kolera

Pada tahun 1819, dilaporkan adanya wabah kolera yang menyebabkan banyak kematian di Malaka, Pinang, dan Mauritius, yang terletak lebih dari 5.500 kilometer sebelah barat Jawa. Berita tersebut menimbulkan kekhawatiran di Hindia Belanda.

Padahal kolera belum menjadi masalah di nusantara dalam dua abad sebelumnya. Memang ada kesadaran bahwa penyakit ini dapat menyebar dengan cepat melintasi batas negara, sebagian disebabkan oleh banyaknya pergerakan kapal ke dan dari koloni tersebut.

Kolera merupakan serangan diare yang parah, cepat dan kehilangan banyak cairan dalam waktu singkat. Pasien muntah, sangat haus dan merasa mual. Dehidrasi menyebabkan kematian. Kram otot menyebabkan pembuluh darah pecah yang ini terlihat dari kulit yang membiru.

Epidemi yang menyebar ke Hindia pada tahun 1821 menewaskan puluhan ribu orang dalam waktu beberapa bulan. Diperkirakan total kematiannya mencapai 125.000 orang.

Sejak tahun 1819 dan seterusnya, tindakan diambil untuk mencegah kolera atas saran dokter. Komite Penelitian dan Pengawasan Medis yang dibentuk berpendapat bahwa gaya hidup penduduk dan iklim mendukung. Penyebaran penyakit ini dianggap tidak signifikan. Saran untuk mencegah penyakit ini termasuk asupan tambahan tanaman obat, air, dan bubuk yang dikenal. hay/I-1

Redaktur: Ilham Sudrajat

Penulis: Haryo Brono

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.