Kebangkitan Keping Piringan Hitam India yang Temukan Iramanya
Pemilik kios piringan hitam bekas Royal Music Collection bernama Abdul Razzak sedang merapikan dagangannya saat ia membuka bisnisnya di Mumbai pada awal Oktober lalu. Saat ini tren piringan hitam di India sedang menggeliat bangkit kembali
Foto: AFP/Indranil MUKHERJEEDengan melelehkan pelet plastik menjadi cakram besar lalu diratakan, seorang pekerja sibuk membuat piringan hitam di pabrik yang diklaim sebagai yang pertama yang dibuka kembali di India dalam beberapa dekade. Sementara itu alunan musik yang akrab di telinga dengan bunyi berderak penuh nostalgia, memenuhi ruangan sebuah lagu Bollywood dari film Hindi populer.
“Saya seperti anak kecil di toko permen,” seringai Saji Pillai, seorang veteran penerbitan musik di ibu kota hiburan India, Mumbai, yang mulai bisnis ini pada Agustus lalu.
Kebangkitan kembali rekaman retro di kalangan penggemar musik India mencerminkan tren global yang telah menyaksikan meroketnya penjualan piringan hitam dari Amerika Serikat hingga Inggris dan Brasil.
Pillai, 58 tahun, memasuki industri musik saat piringan hitam baru saja dimulai. Dia mengaku telah menghabiskan beberapa tahun terakhir mengimpor rekaman dari Eropa untuk klien label musiknya. Namun, ia mengambil keputusan untuk membuka pabriknya sendiri agar bisa memotong pajak impor dan waktu pengiriman untuk berfokus pada artis India dan selera pasar mulai dari Bollywood hingga indie pop setelah menyaksikan peningkatan minat.
Pengecer termasuk Walmart telah merangkul format retro, dan megabintang termasuk Taylor Swift, Billie Eilish, dan Harry Styles telah membuat pabrik-pabrik pengepresan piringan hitam di seluruh dunia bekerja ekstra keras.
Di India sendiri, skala kebangkitannya memang masih jauh lebih kecil, sebagian karena pendapatan rumah tangga yang lebih rendah, tetapi penggemar yang lebih muda saat ini ternyata telah mengikuti tren tersebut.
Pillai pun mengakui industri tersebut masih menantang dan mengatakan pangsa pasarnya tumbuh secara perlahan.
Sistem rekaman piringan hitam ternyata tidak murah. Pemutar piringan hitam yang layak, sistem suara, dan 10 rekaman piringan hitam berharga sekitar 50.000-100.000 rupee (600-1.180 dollar AS), jumlah terendah yang dibutuhkan lebih dari dua kali lipat gaji bulanan rata-rata. Namun bagi mereka yang mampu membelinya, sistem lama ini menawarkan pengalaman baru.
“Anda pergi ke tempat penjual, mengambilnya dengan hati-hati hingga akhirnya Anda memberikan lebih banyak perhatian,” kata Sachin Bhatt yang berusia 26 tahun, seorang direktur desain yang tumbuh dengan mengunduh lagu. “Anda mendengar detail baru, Anda membuat pengamatan mental baru. Ada ritual di baliknya,” tutur dia.
Rekaman piringan hitam menciptakan hubungan pribadi dan nyata dengan musik yang kita sukai. Saya tahu banyak anak muda yang punya piringan hitam, meskipun mereka tidak punya pemutar piringan hitam. Itu cara mereka menunjukkan kecintaan mereka pada musik,” ungkap dia.
Piringan hitam adalah pengalaman yang benar-benar berbeda dibandingkan memasukkan AirPods ke telinganya dan pergi berlari, ucap Mihir Shah, 23 tahun, yang kini telah mengkoleksi sekitar 50 rekaman piringan hitam. “Benda ini membuat saya merasa hadir,” kata dia.
Peningkatan Minat
Yang melayani penggemar ini adalah sekelompok toko piringan hitam, melengkapi koleksi lama yang dijual di toko-toko gang dan pasar loak.
“Ada peningkatan yang sangat besar,” kata Jude De Souza, 36 tahun, yang mengelola toko piringan hitam The Revolver Club di Mumbai, dan mengatakan minat yang meningkat sejalan dengan ketersediaan peralatan audio dan rekaman yang lebih luas.
Sesi mendengarkan piringan hitam yang diselenggarakan oleh tokonya bahkan mendatangkan lebih dari 100 penggemar. Meski popularitasnya meningkat, penjualan piringan hitam di India tetap saja bak setetes air di lautan global.
Meskipun negara dengan penduduk terbanyak di dunia ini memiliki salah satu basis pendengar musik terbesar, dengan lagu lokal yang meraup banyak penayangan di YouTube dan platform streaming musik, industri penerbitannya tergolong kecil jika dibandingkan dengan standar pendapatan global.
Pendapatan penerbitan musik mencapai sekitar 100 juta dollar AS pada tahun fiskal 2023, jauh lebih kecil daripada pasar Barat, menurut raksasa akuntansi EY. Hal itu sebagian disebabkan oleh daya beli penggemarnya yang rendah, ditambah dengan maraknya pembajakan.
Di sebuah toko pinggir jalan kecil, Abdul Razzak yang berusia 62 tahun menjadi jembatan antara budaya piringan hitam lama India dan penggemar baru, dengan menjual hingga 400 rekaman piringan hitam bekas setiap bulan kepada pelanggan berusia 25 hingga 75 tahun.
Ia menjual rekaman seharga 550-2.500 rupee (6,50-30 dollar AS), dan yakin piringan hitam baru yang diproduksi di India akan terbukti populer jika harganya berada dalam kisaran itu.
Bagi Pillai dan pabrik kecilnya, ini memberikan kesempatan. Jika permintaan ada, ia bisa dengan mudah melipatgandakan kapasitas produksi bulanan pabrik yang lebih dari 30.000, sesuatu yang ia harapkan akan tercapai.
“Meskipun orang-orang menyukai digital, sentuhan iramanya tidak ada,” kata Pillai. “Di piringan hitam ini justru ada sensasi kepemilikan, ada cinta terhadapnya, ada romansa, ada cinta, ada kehidupan.” AFP/I-1
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
Berita Terkini
- Kemenparekraf Aktivasi Keep the WonderxCo-Branding Wonderful Indonesia
- UMP DKI Jakarta 2025 Diumumkan Setelah Pilkada
- Trump Pilih Manajer Dana Lindung Nilai Scott Bessent sebagai Menteri Keuangan AS
- KPU RI Targetkan Partisipasi Pemilih Pilkada 2024 Sekitar 82 Persen
- Program Bumi Berdaya Pacu Daya Saing SDM