Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Keadilan Restoratif

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Juandi Manullang

Dalam Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal keadilan restoratif (restorative justice). Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari solusi yang adil dengan menekankan pemulihan pada keadaan semula, bukan pembalasan.

Dari pengertian itu, tentu sangat baik ditetapkan pula keadilan restoratif tersebut dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Sebenarnya, dalam tahun-tahun lalu, keadilan restoratif ini pernah diwacanakan dan menjadi pemberitaan hangat, namun dalam praktik masih belum diterapkan sepenuhnya. Keadilan restoratif itu sendiri pengertiannya hampir sama dengan mediasi dalam perkara perdata. Tujuannya sama-sama untuk mempertemukan kedua belah pihak yang beperkara agar menempuh jalur perdamaian daripada harus terus bersidang.

Keadilan restoratif diuraikan agar setiap aparat penegak hukum, korban maupun pelaku kejahatan mengupayakan terlebih dulu dalam menyelesaikan suatu masalah hukum pidana. Sebenarnya, keadilan restoratif untuk menciptakan jalan damai bagi kedua belah pihak yang bertikai dan UU memberi kebebasan melakukan upaya tersebut.

Harus diketahui, keadilan restoratif menjadi langkah terbaik meminimalkan kepadatan atau over kapasitas sebuah lembaga pemasyarakatan (lapas). Selain itu, di pengadilan pun hakim bisa mengadili dan memeriksa perkara sampai lima persidangan sehari. Ini sungguh merepotkan. Hal itu pun dapat berimbas pada putusan yang tidak berkeadilan dan bermanfaat.

Dengan kata lain, putusan pun menjadi asal-asalan karena tenaga dan pikiran sudah terkuras selama satu hari penuh. Jangan-jangan pihak lain yang ditugaskan untuk menyimpulkan putusan. Tentu ini tidak diinginkan. Maka, keadilan restoratif dirasa pas sebagai formula mencegah putusan asalasalan dan over kapasitasnya lapas. Berdamai sangat penting daripada harus beperkara. Upaya keadilan restoratif patut menjadi prioritas dalam Sistem Peradilan Pidana.

Ada fakta mengejutkan waktu nenek Saulina divonis 1 bulan 14 hari penjara oleh majelis hakim karena diduga merusak tanaman di tempat pemakaman leluhurnya. Seharusnya, perkara tersebut dimungkinkan memakai keadilan restoratif dan merupakan tindak pidana ringan (tipiring) di bawah hukuman lima tahun penjara. Pertemuan antara kedua belah pihak beperkara sudah dilakukan. Namun tidak menemui titik temu. Tetap saja pelapor ingin menindaklanjuti sampai ke ranah pidana.

Melihat situasi tersebut sungguh begitu menyakitkan karena seorang yang sudah renta dipaksa bersidang. Bukan hanya itu, yang menyakitkan juga, tidak diupayakan keadilan restoratif terus menerus agar. Tak disangka, dugaan perbuatan pidana nenek Saulina, tak mampu diupayakan perdamaian hanya karena ego salah satu pihak. Dia tetap bersiteguh untuk memenjarakan maupun ingin menerima kompensasi nenek tersebut bersama anak dan saudaranya.

Tidak Harus

Jadi, kasus ini patut menjadi perhatian bersama bahwa hukum pidana tidak serta merta memberikan siksaan. Dia tidak harus selalu memenjarakan pelaku kejahatan. Hukum pidana pun bisa memberi kebaikan melalui perdamaian. Keadilan restoratif gagal karena tidak ada titik temu perdamaian kedua pihak. Dapat pula karena tidak ada keinginan melakukannya. Yang harus dilakukan kedua belah pihak beperkara harus mau menempuh keadilan restoratif. Aparat penegak hukum seperti kepolisian dan hakim di pengadilan diharapkan mendorong ke arah keadilan restoratif.

Perlu disadari, manfaat keadilan restoratif sangat penting dalam sistem hukum. Tidak mesti semua perkara harus dilimpahkan ke pengadilan. Sudah terlalu banyak perkara yang disidangkan. Jadi harus ada upaya persuasif dalam menyelesaikan masalah hukum. Alangkah baik pula setiap pihak beperkara mau upayakan keadilan restoratif. Hukum di Indonesia memperbolehkan, maka perlu dicoba.

Belum banyak orang menempuhnya. Padahal, keadilan restoratif mengajak setiap orang beperkara untuk berdamai. Semakin terpuruklah sistem hukum bila perdamaian tidak diupayakan dalam proses. Belum lagi, ditambah hukum masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hukum masih saja berpihak pada kaum berduit dan maupun kasta tertinggi.

Hal itu menambah daftar buruk potret hukum. Pandangan masyarakat, hukum belum benar- benar memancarkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Hukum belum benar-benar tegak sebagaimana dicita- citakan. Hukum belum sebagai panglima sehingga tak memancarkan sebuah keseimbangan.

Artinya, hukum harus adil dan tidak memihak. Dengan kata lain, seimbang kepada siapa pun yang berbuat salah. Saat ini sering terjadi kasus terhadap orang-orang tertindas, namun upaya keadilan restoratif tidak ditempuh. Pemandangan inilah yang membuat paradigma negatif masyarakat terhadap hukum.

Sebaiknya kasus yang mengarah pada tindak pidana ringan maupun sejenis diarahkan untuk berdamai melalui proses keadilan restoratif. Jadi, jangan serta merta melalui penghukuman, siksaan, kurungan, dan sebagainya. Inilah yang harus diupayakan dan digaungkan terus menerus oleh pemerintah dan aparat penegak hukum.

Semua tak mau pengadilan hanya menghukum orang lemah. Masyarakat harus berpikir untuk menyelesaikan di luar persidangan. Memang, hukum harus tegak. Yang bersalah harus dihukum. Namun, hati nurani harus memiliki tetap diutamakan. Kasih melalui jalur perdamaian bukan harus menyiksa. Hukum juga membuka ruang untuk kita melakukan perdamaian, tanpa harus melaporkan ke polisi. Sekarang, kembali ke diri masing-masing, masih mempunyai kasih?

Penulis Alumnus FH Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara

Komentar

Komentar
()

Top