Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
PERSPEKTIF

Keadilan bagi Meiliana

Foto : ANTARA/Irsan Mulyadi

Terdakwa kasus penistaan agama, Meliana mengikuti sidang dengan agenda pembacaan putusan, di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Selasa (21/8). Meliana divonis satu tahun enam bulan penjara terkait kasus penistaan agama yang memicu kerusuhan bernuansa SARA di Tanjung Balai, Sumatera Utara pada akhir Juli 2016.

A   A   A   Pengaturan Font

"Mengatakan suara azan terlalu keras-- menurut pendapat saya -- bukan penistaan agama. Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat," ujar Robikin, Rabu (22/8/2018). Robikin meminta Pasal 156 dan 156a KUHP tidak dijadikan pasal karet oleh penegak hukum.

Dia berpendapat, pernyataan Meiliana semestinya dijadikan kritik yang konstruktif. Dia tidak melihat bahwa ungkapan "suara azan terlalu keras" sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu.

"Sebagai muslim, pendapat seperti itu sewajarnya kita tempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural," jelas Robikin. Pengadilan mestinya mendengar sesepuh seperti Wapres Jusuf Kalla dan Ketua PBNU Robikin. Dua tokoh ini tentu pakar dalam masalah agama dan mereka menyatakan ungkapan Meiliana bukan penistaan.

Malahan Wapres mengatakan mestinya Meiliana tidak dihukum. Memang dalam banyak kasus yang diarahkan atau dijerat dengan pasal penistaan agama, proses peradilannya tidak pernah berjalan jujur. Para penegak hukum selalu takut pada tekanan massa. Dengan kata lain, para penegak hukum tunduk pada tekanan massa, bukan suara hati.

Baca Juga :
Balap Motor Jalanan

Padahal tidak ada ketulusan, tanpa tundak pada suara hati. Hakim menjadi buta, kalau tidak berada dalam tuntutan suara hati. Banyak kasus yang diadili dengan pasal-pasal penistaan agama sulit untuk menemukan penanganan yang benar-benar adil, jujur, dan berdasar suara hati. Yang bermain untuk kasus-kasus semacam ini lebih banyak ketidakberpihakan pengadilan pada kejujuran karena takut massa.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top