Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
PERSPEKTIF

Keadilan bagi Meiliana

Foto : ANTARA/Irsan Mulyadi

Terdakwa kasus penistaan agama, Meliana mengikuti sidang dengan agenda pembacaan putusan, di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, Selasa (21/8). Meliana divonis satu tahun enam bulan penjara terkait kasus penistaan agama yang memicu kerusuhan bernuansa SARA di Tanjung Balai, Sumatera Utara pada akhir Juli 2016.

A   A   A   Pengaturan Font

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan masyarakat yang memprotes suara terlalu keras dari masjid tak seharusnya dihukum. Ungkapan ini terkait dengan kasus Meiliana, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, yang divonis 18 bulan karena dianggap menista agama. Kasusnya bermula permintaan tolong agar pengeras suara untuk azan dikecilkan.

Namun hal itu berkembang menjadi kerusuhan, pembakaran, dan perusakan sejumlah vihara dan tentu saja rumah Meiliana. Para pelaku perusakan dan pembakaran hanya divonis 1-3 bulan. Permintaan Meiliana tersebut dialirkan secara berantai, jadi mungkin ada yang menambah-nambahi karena sampai ada yang mengatakan, ada yang melarang azan.

Rumah Meiliana hanya berjarak beberapa meter dari masjid. Wapres Jusuf Kalla menegaskan, keluhan soal suara yang terlalu keras dari masjid merupakan sesuatu yang wajar. "Apabila ada masyarkat yang meminta suaranya dikecilkan, itu tidak seharusnya menjadi pidana," katanya, Jakarta, Rabu, 23 Agustus 2018.

JK yang juga Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) itu menyatakan, DMI sendiri sudah menyebar imbauan agar suara pengajian dan azan yang disiarkan masjid tak terlalu keras. Tujuannya agar suara yang dihasilkan antarmasjid tak saling mengganggu. "Karena rata-rata jarak antara masjid di daerah padat kira-kira 500 meter," katanya.

DMI juga membatasi waktu penyiaran azan dan pengajian. JK minta pengajian tidak lebih dari lima menit. "Jadi tidak perlu panjang sampai setengah jam," katanya. Hal senada disampaikan Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-Undangan, Robikin Emhas. Dia menyatakan suara azan terlalu keras, bukan penistaan agama.

"Mengatakan suara azan terlalu keras-- menurut pendapat saya -- bukan penistaan agama. Saya berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat," ujar Robikin, Rabu (22/8/2018). Robikin meminta Pasal 156 dan 156a KUHP tidak dijadikan pasal karet oleh penegak hukum.

Dia berpendapat, pernyataan Meiliana semestinya dijadikan kritik yang konstruktif. Dia tidak melihat bahwa ungkapan "suara azan terlalu keras" sebagai ekspresi kebencian atau sikap permusuhan terhadap golongan atau agama tertentu.

"Sebagai muslim, pendapat seperti itu sewajarnya kita tempatkan sebagai kritik konstruktif dalam kehidupan masyarakat yang plural," jelas Robikin. Pengadilan mestinya mendengar sesepuh seperti Wapres Jusuf Kalla dan Ketua PBNU Robikin. Dua tokoh ini tentu pakar dalam masalah agama dan mereka menyatakan ungkapan Meiliana bukan penistaan.

Malahan Wapres mengatakan mestinya Meiliana tidak dihukum. Memang dalam banyak kasus yang diarahkan atau dijerat dengan pasal penistaan agama, proses peradilannya tidak pernah berjalan jujur. Para penegak hukum selalu takut pada tekanan massa. Dengan kata lain, para penegak hukum tunduk pada tekanan massa, bukan suara hati.

Padahal tidak ada ketulusan, tanpa tundak pada suara hati. Hakim menjadi buta, kalau tidak berada dalam tuntutan suara hati. Banyak kasus yang diadili dengan pasal-pasal penistaan agama sulit untuk menemukan penanganan yang benar-benar adil, jujur, dan berdasar suara hati. Yang bermain untuk kasus-kasus semacam ini lebih banyak ketidakberpihakan pengadilan pada kejujuran karena takut massa.

Maka menjadi tanggung jawab para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan juga para elite untuk mendidik masyarakat agar menjauh dari proses hukum. Selama massa ambil bagian dalam proses penanganan kasus yang dianggap/diarahkan sebagai penistaan agama, hakim tidak berani mengikuti suara hati.

Persoalan lainnya, hakim bisa juga menjadi partisan, kalau kebetulan satu keyakinan dengan massa. Situasi hakim yang partisan ini juga semakin menjauhkan proses peradilan yang jujur dan adil. Semoga ada keadilan bagi Meiliana. Tidak hanya Meiliana yang menderita, tetapi juga anak-anak yang menyaksikan rumahnya digeruduk dan dirusak massa. Pasti anak-anak mengalami tekanan mental berat yang melahirkan traumatik mendalam.

Komentar

Komentar
()

Top