Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

"Kambing Hitam" Avtur

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Totok Siswantara

Masyarakat terus mengeluhkan tarif tinggi penerbangan. Harga tiket pesawat belum normal, meski maskapai nasional yang tergabung dalam Indonesia National Air Carrier Association (INACA) sepakat menurunkan tarif sejak 11 Januari 2019. Harga avtur sebagai bahan bakar pesawat dijadikan "kambing hitam" tingginya harga tiket pesawat.

Lihat saja pernyataan kontroversi Dirut Garuda, Ari Akhsara, kenaikan tiket karena harga avtur Pertamina tidak kompetitif. Jika avtur dijadikan komponen tertinggi biaya operasional, sangat tidak fair. Sebab di dalam komponen penghitungan harga tiket, biaya bahan bakar hanya dinilai 26 persen dari harga tiket.

Pengadaan avtur oleh Pertamina selama ini sebagian harus impor seperti dari Singapura dan Korea Selatan yang jaraknya relatif lebih dekat dan harganya cukup kompetitif. Sebanyak 40 persen avtur Pertamina untuk bandara di seluruh Tanah Air harus impor. Pertamina harus impor avtur karena dari enam kilang minyak hanya dua yang memproduksi avtur cukup besar.

Pertamina sebenarnya telah menetapkan harga cukup kompetitif dibanding negara lain. Sebagai perbandingan, harga per barel avtur di Bandara Internasional Soekarno Hatta sebesar 107,7 dollar AS. Sedangkan di Bandara King Abdul Aziz mencapai 112,4 dollar AS. Padahal Arab Saudi terkenal sebagai negara penghasil minyak terbesar dunia, bukan importir.

Selama ini, Pertamina sangat mendukung maskapai dengan mencukupi kebutuhan avtur seluruh bandara. Jarak bandara yang berjauhan menyebabkan kompleksitas distribusi dan menjaga mutu. Pertamina telah memberi diskon cukup besar kepada PT Garuda Indonesia karena sesama BUMN harus saling bersinergi. Bahkan sampai kini, Garuda masih utang avtur kepada Pertamina sebesar 3,2 triliun rupiah.

Beberapa maskapi pernah tidak mampu bayar utang avtur saat jatuh tempo. Bahkan, ada maskapai mengemplang utang avtur karena tidak dibayar hingga tidak beroperasi lagi. Misalnya, utang avtur PT Merpati Nusantara Airliners (MNA) telah merusak kelangsungan bisnis Pertamina. Sebagai korporasi, Pertamina telah menanggung beban operasional cukup besar akibat kemacetan utang maskapai.

Awal mula tingginya harga tiket penerbangan Tanah Air dipicu "Garuda Effect." Bahkan Direktur Utama Garuda Indonesia, Ari Akhsara, mengakui yang pertama menaikkan harga tiket pesawat. Efeknya, maskapai lain ikut menaikkan harga tiket. Maskapai menaikkan harga tiket untuk mengatasi kesulitan keuangan perusahaan. Garuda Indonesia mencatat kerugian 64,3 juta dolar AS pada kuartal I-2018.

"Mark Up"

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap, kerugian terus menerus Garuda akibat mark up pembelian pesawat seperti dari perusahaan asal Inggris, Rolls-Royce. Besaran tarif penerbangan mengalami kejutan setelah penerapan konsep low cost carrier (LCC) di Tanah Air tahun 1999. Semangat gerakan reformasi ternyata diboncengi desakan agar terjadi deregulasi berbagai bidang, tanpa terkecuali, industri penerbangan.

Deregulasi menyebabkan persyaratan pendirian maskapai penerbangan menjadi sangat mudah. Pengusaha dengan modal pas-pasan mulai menggaet asing lalu memproklamasikan sebagai maskapai berbiaya rendah. Dalam waktu singkat muncullah maskapai baru dengan jargon LCC dan langsung menggerus flag carrier. Bahkan, mereka secara progresif merebut rute gemuk yang selama ini menjadi ladang flag carrier.

Model bisnis dan plarform BUMN penerbangan semakin dilemahkan dengan ketentuan yang lebih liberal seperti Undang-Undang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli. UU ini kemudian mendorong deregulasi transportasi udara. Kini model bisnis LCC di negara asalnya, Amerika, sudah bertransformasi berulang kali.

Bahkan, maskapai yang menjalankan berulang kali jatuh bangun dan beberapa di antaranya bangkrut. Model LCC dalam dunia penerbangan diterapakan pertama kali di Amerika Serikat tahun 1978. Penerbangan LCC selalu mengalami pembaruan sesuai dengan perkembangan teknologi. Pelopor model LCC di Amerika Serikat adalah Pacific Southwest Airlines (PSA) dan Air Southwest Co. PSA adalah maskapai penerbangan tertua dan pertama di Amerika Serikat dengan moto perusahaan "The World's Friendly Airlines". PSA berkantor pusat di San Diego California yang beroperasi sejak 1949 dengan mengandalkan pesawat jenis DC3.

Maskapai penerbangan kedua yang menjadi pelopor LCC adalah Air Southwest Co yang beroperasi sejak 1967 yang lalu berganti nama SouthWest Airlines pada 1971. Maskapai LCC di AS telah menyempurnakan operasional beberapa kali. Sehingga meskipun layanan tanpa kenikmatan prima (no frills), berharga amat murah, tetapi tepat waktu dan menerapkan faktor keselamatan yang tinggi.

Deregulasi penerbangan di berbagai negara, termasuk Indonesia, membuat bisnis penerbangan leluasa memasuki pasar apa pun, selama operator mampu memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan. Namun, ada faktor yang sangat riskan seperti penerbangan menjadi industri dengan margin keuntungan di bawah 3 persen. Akibatnya, kondisi cash flow penerbangan masih mudah berdarah-darah.

Pemerintah sebagai regulator sebaiknya merevisi atau memperbarui ketentuan dalam Pasal 3, Peraturan Menteri Perhubungan No 185 Tahun 2015. Isinya, terdapat tiga kategori pelayanan Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal. Mereka adalah pelayanan dengan standar maksimum (full services), menengah (medium services), dan minimum (no frills). Standar pelayanan ketiganya bersama seperti soal bagasi penumpang.

Untuk kategori maskapai penerbangan dengan ketentuan full service paling banyak 20 kilogram tanpa biaya bagasi. Bagi kelompok medium service paling banyak 15 kilogram tanpa biaya, sedangkan dalam kelompok no frills dapat dikenakan biaya.

Perusahaan penerbangan Indonesia yang masuk kategori full Service hanyalah PT Garuda Indonesia dan PT Batik Air. Kelompok medium service adalah PT Trigana Air service, PT Travel express, PT Sriwijaya Air, PT Nam Air dan PT Transnusa Air Service. Sedangkan yang masuk no frill service adalah PT Lion Air, PT Wings Air, PT Indonesia Air Asia, PT Indonesia Air Asia Extra, PT Citilink Indonesia, dan PT Asi Pudjiastuti Aviation.

Perlu audit lembaga independen yang kredibel untuk menghitung kembali struktur biaya operasional maskapai dan besaran tarif. Selama ini, maskapai hanya pandai membeli atau menyewa pesawat berteknologi tinggi. Sayangnya, postur SDM yang menguasai desain pesawat, teknologi perawatan, pendukung operasional, dan rantai pasok suku cadangnya masih kurang. Ini membuat operasionalnya kurang optimal.

Penulis Anggota Indonesia Aeronautical Engineering Center

Komentar

Komentar
()

Top