Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Jangan Lagi Terlambat Antisipasi Karhutla

Foto : ANTARA / Nova Wahyudi

lakukan pemadaman - Helikopter milik BNPB melakukan pemadaman kebakaran lahan dari udara, di Desa Babatan Saudagar, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatra Selatan, Kamis (27/7).

A   A   A   Pengaturan Font

Pada Juni menjadi awal musim kemarau 2017 di Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan pada bulan tersebut sebagian besar wilayah di Indonesia masuk kemarau. Untuk itu, perlu diantisipasi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), saat awal musim kemarau, mulai dari upaya teknis hingga nonteknis.

Indeks gabungan El Nino dan Southern Oscillation (ENSO) hingga Mei III 2017 berada di angka 0,5, menunjukkan kondisi normal. Suhu permukaan temperatur laut (Sea Surface Temperature/SST) di Pasifik Tengah dan Timur mulai menunjukkan anomali positif. Namun, menurut Deputi Bidang Klimatologi BMKG, R Mulyono Rahadi Prabowo, masih dalam kisaran normal.

Indeks Dipole Mode hingga Mei 2017 normal dan prediksi BMKG dari Juni hingga November 2017 juga ada dalam kondisi normal. Namun, NASA memprediksi indeks Dipole Mode dari Juni hingga November 2017 akan ada dalam kondisi positif kuat.

Berdasarkan prakiraan BMKG, puncak musim kemarau pada tahun 2017 umumnya terjadi pada bulan Juli, Agustus, dan September. Terjadi pergeseran puncak musim kemarau jika dibandingkan dengan data 1981-2010 yang biasanya terjadi mulai Juni, Juli, hingga Agustus. Walaupun demikian, wilayah Indonesia yang berada di utara khatulistiwa masih tinggi berpeluang hujan.

BMKG memprakirakan kondisi kemarau di wilayah Indonesia pada tahun ini tidak akan sekering pada tahun 2015, namun juga tidak akan sebasah pada tahun 2016. Biaya penanggulangan Karhutla relatif sangat tinggi. Misalnya, pada tahun 2014, dalam sebulan operasi pemadaman api menghabiskan biaya 164 miliar rupiah.

Ahli Lingkungan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero Saharjo, mengatakan nirkarhutla tidak mungkin terjadi jika standar pencegahan kebakaran hutan, kebun, dan lahan yang dikeluarkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tidak pernah dijalankan.

Dari data akumulasi titik panas periode 2006-2015 yang dimilikinya tercatat pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 116.738. Pada tahun berikutnya, 2007, mencapai 31.367; 2008 mencapai 28.660; 2009 mencapai 74.996; 2010 mencapai 15.762; 2011 mencapai 45.776; 2012 mencapai 52.224; 2013 mencapai 40.419; 2014 mencapai 90.581; pada tahun 2015 sebanyak 119.914 titik panas.

Bambang mengatakan semua pihak menyebut pencegahan. Akan tetapi, sejauh ini hanya basa-basi saja, justru "memberhalakan" alat-alat berat, seperti penggunaan helikopter dan pesawat untuk melakukan water bombing saat terjadi Karhutla.

"Ini gara-gara mindset yang sudah terbentuk di kepala kita bahwa jika ada teknik modifikasi cuaca (TMC) dan water boombing dengan helikopter dan pesawat, kebakaran bisa ditanggulangi. Seolah-olah tanpa itu semua, kita tidak bisa mengatasi Karhutla," ujar Bambang.

Gunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melakukan mitigasi, seperti penggunaan water logger untuk mengetahui kondisi lahan sehingga bisa mengantisipasi sebelum kebakaran terjadi. Menurut Bambang, sudah tidak perlu lagi memikirkan pihak yang melawan kebijakan tata muka air tanah di lahan gambut. Pemerintah harus tegas. Jika level air lebih rendah dari minus 40 sentimeter dari permukaan lahan gambut harus segera mengupayakan penambahan air dengan menutup kanal atau memasukkan air dengan pompa.

"Hal ini yang mereka tidak mau lakukan karena akan mengeluarkan biaya lebih besar, padahal tujuannya baik untuk menyelamatkan areal mereka sendiri. Akhirnya seperti tadi, ah tenang saja, pemerintah akan siapkan helikopter dan pesawat untuk water boombing dan TMC," ujar Bambang.

Terapkan Sanksi

Pemerintah, menurut Bambang, sudah saatnya memberikan penegasan jika mitigasi tidak dilaksanakan, sanksi diterapkan. Dari sanksi administrasi, pidana, perdata, aplikasi multidoor, hingga eksekusi harus benar-benar berjalan.

Hal serupa disampaikan Deputi Bidang Penanganan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Tri Budiarto. Menurut Tri, segera buang pemahaman sesat seolah-olah water boombing dan hujan buatan adalah teknologi yang paling mampu menyelesaikan persoalan kabut asap. Kekuatan masyarakat mencegah tidak boleh dilupakan. Perhatian dan pembinaan pada masyarakat sangat kurang dan itu yang harus diperkuat ke depan.

Tri mengingatkan jangan biarkan masyarakat terjebak pada paradoksal bahwa membakar hutan dan lahan yang diketahui akan berpotensi menimbulkan bencana asap, tetapi tetap dilakukan dan tidak diberikan sanksi. Jangan biarkan imunitas negatif terjadi pada masyarakat, perasaan kebal terhadap asap karena dianggap tidak membunuh saat itu juga.

Pendekatan dalam mengatasi Karhutla yang selalu tertinggal adalah aspek sosiologis dan kultural dan proses perkuatan masyarakat. Di sisi lain, pembiaran terhadap pelaku pembakaran terus terjadi sehingga pengulangan Karhutla. Kasus Karhutla sudah sering terjadi, jangan lagi terlambat mengantisipasinya. eko/Ant/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top