Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kontrak Pertambangan - Realisasi EBT Terkendala Tingginya Biaya Pokok Produksi

IUP Ormas Hambat Transisi

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Agenda besar transisi energi baru dan terbarukan (EBT) berpotensi terhambat seiring adanya aturan yang memberi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Beleid tersebut dikhawatirkan menambah produksi energi kotor batu bara dan menghambat pemanfaatan energi bersih (EBT).

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, menyoroti tambang eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Yusri mengatakan sebelumnya relinquish atau pelepasan lahan PKP2B sebagai Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dapat dijadikan konversi energi dan cadangan ketahanan energi di masa depan.

"Tetapi muncul kebijakan aneh, lahan relinquish justru akan diberikan kepada ormas keagamaan. Perkiraan kami jika ini terjadi maka produksi batu bara nasional pada akhir 2024 akan mendekati satu miliar metrik ton per tahun," ungkap Yusri kepada Koran Jakarta, Minggu (9/6).

Berdasarkan Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) selama tiga tahun yang dikeluarkan oleh Ditjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), diperoleh jatah produksi pada 2024 sebesar 922 juta metrik ton, pada 2025 sebesar 912 juta metrik ton dan pada 2026 sebesar 920 juta metrik ton yang merupakan produksi dari 508 IUP dan IUPK batu bara. Angka itu di luar produksi tambang ormas keagaamaan jika berjalan.

"Padahal menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang dibuat oleh Dewan Energi Nasional (DEN) dan dipertegas dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2017 bahwa rencana produksi batu bara nasional akan dikelola pada level 400 juta metrik ton per tahun dan akan dikurangi secara bertahap dengan meningkatkan porsi energi terbarukan, untuk tujuan menekan emisi gas buang kaca. "Tetapi faktanya terbalik, kok gak konsisten ya?" tanya Yusri.

Menurut Yusri, ini ironi sebab Ketua DEN adalah Presiden RI, lalu Ketua Harian DEN adalah Menteri ESDM dan Sekjen DEN adalah mantan Dirjen Migas Kementerian ESDM.

Lebih lanjut, Yusri mengutarakan dia setuju dan memberi apresiasi kebijakan mantan Menteri Lingkungan Hidup, A Sonny Keraf, yang juga merupakan Ketua Tim DPR RI saat pembahasan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, sedangkan wakil dari pemerintah waktu itu tak lain adalah Dirjen Minerba Dr Simon Sembiring.

"Kalau IUP Eksplorasi otomatis menjadi IUP OP, termasuk ormas keagamaan, maka yang terjadi produksi batu bara nasional akan pada level satu miliar metrik ton. Dengan cadangan 35,5 miliar metrik ton (2022-badan geologi) dan belum lagi dikoreksi atas harga, infrastruktur, kedalaman dan hilangnya akibat pengurangan overburden, distance terhadap keekonomian, maka saya yakin rasio produksi nasional sebatas 25 tahun sudah bagus," beber Yusri.

Dirinya sepakat dengan pendapat Sonny Keraf bahwa nasib produksi batu bara akan sama nasibnya dengan industri minyak bumi. EBT (energi baru terbarukan) belum berhasil karena BPP (Biaya Pokok Produksi) masih tinggi.

Adapun aturan yang mengatur pemberian IUPK untuk ormas itu termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Kerap Diprotes

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, membantah bahwa terbitnya aturan ini sebagai politik balas budi.

"Pemerintah serbasalah sebab dulu kerap dikritik karena memberi IUP kepada konglomerat atau investor asing, tetapi ketika dikasih ke BU milik ormas keagamaan juga diprotes. Maunya apa sih? tanya Bahlil, Jumat (7/6).

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi, mengatakan terbitnya aturan ini dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top