Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Islam Nusantara Antiradikalisme

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Sholahuddin, MA

Pertemuan dua ormas terbesar NU dan Muhammadiyah, pada Jumat, 23 Maret 2018, di kantor PBNU, membawa sinyal penting akan harapan damai pada tahun politik 2018 dan 2019 mendatang. Peristiwa tersebut dapat diartikan bertemunya dua kekuatan Islam Nusantara. Memang, kehadiran gagasan Islam Nusantara pada muktamar ke-33 NU di Jombang tahun 2015 menuai banyak tanggapan, baik pro maupun kontra.

Wacana Islam Nusantara bagaikan bola salju yang menggelinding dan menjadi menarik setelah perhelatan muktamar. Tokoh-tokoh NU memberi definisi yang beragam tentang Islam Nusantara. KH Ma'ruf Amin, Rais Amm PBNU, mengatakan bahwa Islam Nusantara adalah casing dari keberagamaan Islam yang sudah lama dipraktikkan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Islam yang dipraktikkan di bumi Nusantara akomodatif terhadap kebudayaan lokal.

Definisi lain datang dari KH Said Aqil Siradj. Menurutnya, Islam Nusantara adalah Islam yang khas Indonesia dengan paham ahlussunnah waljamaah yang mengutamakan toleransi dan menegaskan Islam rahmatan lil alamin (kasih kepada seluruh alam). Dari kalangan luar NU, Islam Nusantara dianggap sebagai upaya untuk liberalisasi dan memisahkan Islam dari konteks Arab.

Kelompok Islam garis keras laiknya Front Pembela Islam (FPI) dan gerakan Islam berbasis ideologi Salafi-Wahabi menuduh bahwa Islam Nusantara sebagai sebuah usaha NU untuk memisahkan Islam dari Arab. FPI melalui Rizieq Syihab bahkan mengolok-olok Islam Nusantara dengan akronim anus (Aliran Nusantara). Keberatan Rizieq Syihab kemudian dibantah aktivis NU dan mengatakan bahwa Islam Nusantara bukanlah madzhab baru. Islam Nusantara justru memperkuat rahmatan lil alamin yang menjadi identitas NU.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top