Ironis, Pulau Run Masih Terbelakang, Manhattan Jadi Kota Termaju Dunia
Foto: koran jakarta/onesIronis terbesar sejarah, jika imigran dari Pulau Banda ke Manhattan dikategorikan imigran dari negara terbelakang.
Sekitar 350 tahun lalu, Pulau Run di Kepulauan Banda ditukar dengan Manhattan, New York, AS.
JAKARTA - Perbedaan kondisi Pulau Run di Kepulauan Banda, Maluku, dan Manhattan, New York, Amerika Serikat (AS), yang bagaikan bumi dan langit, mesti dicermati.
Sebab, hal itu menunjukkan betapa sistem pemerintahan dan kualitas pejabat negara di pusat akan menentukan kemajuan satu daerah. Berdasarkan sejarahnya, Pulau Run merupakan salah satu objek rebutan dalam perang Inggris-Belanda pada abad 16.
Meski pulau yang terletak di Kepulauan Banda itu hanya memiliki panjang tiga kilometer (km) dengan lebar satu km, namun Run kaya akan pala, jenis rempah yang saat itu nilainya lebih mahal dari emas.
Setelah berperang selama 60 tahun, Inggris dan Belanda menandatangani Perjanjian Breda pada 31 Juli 1667. Isi perjanjian tersebut, Inggris mengembalikan Pulau Run pada Belanda, dan sebagai imbalannya, Inggris mendapatkan pulau rawa Manhattan di New Amsterdam yang sebelumnya dibeli oleh Belanda dari penduduk asli Amerika.
Namun kini, setelah 350 tahun kemudian, tanah rawa Manhattan, New York, berkembang menjadi kota termaju dunia. Sementara itu, Pulau Run kian terlupakan dan tak lagi dianggap penting sehingga menjadi daerah tertinggal.
Peneliti Perkumpalan Prakarsa, Irvan Tengku Harja, menilai kondisi Pulau Run yang terbelakang hanyalah salah satu dari sekian banyak daerah di Indonesia. Ini terjadi karena pemerintah terlalu sentralistik di Pulau Jawa, terutama Kota Jakarta.
"Terbukti, peredaran uang 60 persen di Jakarta. APBD DKI Jakarta lebih dari 70 triliun rupiah. Meski begitu, banyak proyek mubazir. Biaya hidup tinggi, tapi kualitas hidup rendah akibat banjir, macet, dan kesehatan lingkungan rendah," papar dia, ketika dihubungi, Minggu (14/1).
Selain itu, lanjut dia, daerah kaya sumber daya alam, seperti minyak, gas, dan batu bara, seakan hanya menjadi lahan perburuan, tapi rakyatnya tidak diurus. "Padahal, apa susahnya membangun power plant dari energi terbarukan di daerah terbelakang.
Kenapa semua dana ditumpahkan di Jakarta, jor-joran kredit properti. Inilah yang mendorong urbanisasi," ujar Ivan. Dihubungi terpisah, pengamat pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya, Ramdan Hidayat, juga memaparkan contoh kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat di daerah, yakni impor pangan.
Menurut dia, daripada menghabiskan devisa untuk impor beras 500 ribu ton, akan lebih bermanfaat jika dana itu digunakan untuk membantu petani tingkatkan produktivitas.
"Membantu meningkatkan produksi petani cukup dengan rupiah yang dicetak Bank Indonesia, sedangkan impor dengan dollar AS dari devisa yang sebagian dari utang," ujar dia. Ramdan mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah pusat akan sangat menentukan kesejahteraan rakyat di daerah pelosok.
Contohnya, utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menguras APBN menyebabkan daerah terpencil tidak kebagian anggaran untuk pembangunan. "Pusat yang menghabiskan dana untuk belanja modal semestinya juga harus melayani daerah tertinggal.
Rakyat kecil tidak punya suara," imbuh dia. Ramdan juga mengatakan kalau menekan inflasi dengan impor tanpa upaya meningkatkan produktivitas dan tidak sejahterakan petani itu percuma saja, karena Indonesia tetap akan kekurangan pangan.
Selain itu, impor beras yang tidak menggunakan APBN juga tidak seluruhnya benar. "Sebab, impor menggunakan devisa negara yang berasal dari utang, global bond. Kita berutang untuk makan.
Padahal, jika dana rupiah kita berikan untuk meningkatkan nilai jual ke petani maka kita tidak rugi, tak perlu utang luar negeri untuk makan. Di sinilah peran Bulog dan Badan Pangan," tukas dia. Intinya, tegas Ramdan, pemerintah semestinya tidak mencari solusi jangka pendek yang pada akhirnya malah merugikan diri sendiri.
Miskin Infrastruktur T
erkait dengan kondisi Pulau Run, The Sydney Morning Herald mewartakan, pulau yang miskin infrastruktur penerangan dan kesehatan itu kini dihuni oleh 2.050 orang, sebagian besar menjadi petani pala, cengkeh, dan nelayan ikan tuna.
Kawasan yang kaya rempah-rempah itu masih terpencil dan terisolasi dari dunia luar. Pulau Run hanya memiliki satu puskesmas, tanpa tenaga medis dan persediaan obat yang memadai.
Kepala Desa Pulau Run, Burhan Lohor menjelaskan untuk tindakan medis yang bersifat darurat semacam operasi cesar atau kasus serangan jantung, dokter yang ada satu-satunya harus melakukan perjalanan penuh risiko dengan berlayar menembus gelombang laut selama 2,5 jam.
"Jika Anda datang dari Manhattan ke Run, akan melihat perbedaan yang sangat mencolok," tukas Burhan. SB/YK/WP
Redaktur:
Penulis: Eko S, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
Berita Terkini
- Penerapan pembelajaran berbasis digital di Tolitoli masih belum merata
- BPBD : Ketinggian banjir rob sempat 40 centimeter
- Unej beri bantuan untuk korban banjir di Wonoasri
- Tutup Tahun di Cilegon, Tempat Ini Gelar Event Musik Rock Klasik
- Terancam Pergerakan Tanah, PVMBG Minta 22 Rumah di Desa Wargasari Cianjur Dikosongkan