Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Ironi Masalah Perpajakan

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

oleh DR Haryo Kuncoro

Bayang-bayang kekurangan (shortfall) penerimaan pajak terus mengintai karena penerimaan penyumbang terbesar pendapatan negara ini mulai melambat. Realisasi pajak hingga Mei 2019, misalnya, hanya tumbuh 2,43 persen. Ini jauh lebih rendah dari periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai 14,2 persen.

Komparasi dengan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) agaknya tidak mengubah kesimpulan. Kinerja PNBP hanya tumbuh 8,6 persen secara tahunan. Ini di bawah pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 18,1 persen. Sektor sumber daya alam yang menjadi tumpuan PNBP sepertinya juga tengah menghadapi tekanan.

Rendahnya pertumbuhan penerimaan pajak pertengahan tahun menjadi peringatan pemerintah agar mawas diri. Mengambil contoh APBN 2018, kendati kenaikan penerimaan negara melampaui target 102,5 persen, namun penerimaan perpajakan masih kekurangan 108,1 triliun rupiah dari sasaran awal.

Tidak tercapainya target penerimaan pajak bisa berimplikasi luas. Sasaran rasio pajak yang ditetapkan tahun ini 12,2 persen bisa gagal. Alhasil, tax ratio Indonesia masih lebih rendah dari negara tetangga di ASEAN. Persoalan menjadi kian kompleks lantaran kegagalan perolehan pajak tahun ini akan menambah beban target penerimaan pajak tahun berikutnya. Jika tahun ini penerimaan pajak hanya 90 persen, pertumbuhan penerimaan pajak 2020 bisa membengkak jadi 20-23 persen. Ini jika hendak menutup kekurangannya.

Ironisnya, di tengah penerimaan negara yang masih sangat fluktuatif, pemerintah malah menyiapkan pemangkasan pajak dan nonpajak di sejumlah sektor usaha. Tarif pajak penghasilan (PPh) atas hunian mewah dan pajak penjualan barang mewah di subsektor otomotif baru saja dipangkas.

Insentif lanjutan yang kini sedang dilakukan simulasi ialah tarif PPh Badan yang akan dipotong dari 25 persen menjadi 20 persen. Belum lagi, pembebasan pajak (tax allowance), pengurangan pajak jumbo (super deduction tax), subsidi pajak, belanja pajak, dan regulasi PNBP yang akan dirilis tahun ini juga.

Di satu sisi, kebijakan pemangkasan pajak dalam jangka pendek berpotensi menggerus penerimaan negara. Namun di sisi lain, berbagai langkah tersebut dimaksudkan sebagai upaya mendorong kegiatan investasi dan meningkatkan kinerja ekspor demi menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Pertanyaannya, apakah berbagai bentuk insentif fiskal tersebut memang menjadi kebutuhan investor dan eksportir? Insentif fiskal ialah salah satu, tetapi bukan satu-satunya determinan kegiatan ekspor dan penanaman modal. Jangan sampai inti masalah ada di ranah lain, tetapi insentif fiskal yang dijadikan solusi.

Kalaupun sudah sesuai dengan kebutuhan, pertanyaan berikutnya, seberapa besar responsifitasnya. Tidak sensitifnya investor dan eksportir terhadap insentif pajak bisa menjadi bumerang. Alih-alih mendongkrak penanaman modal dan kinerja ekspor, insentif pajak bisa merecoki kesinambungan (sustainability) APBN.

Kesinambungan APBN akan tercapai jika penerimaan pajak ditopang basis pajak yang kuat. Ironisnya lagi, insentif pajak ditawarkan saat intensifikasi basis pajak belum optimal. Contoh, banyak pengusaha yang tidak mendaftar sebagai pengusaha kena pajak. Padahal skala usaha mereka sudah masuk kategori pengusaha kena pajak.

Situasi yang sama juga terjadi pada pekerja. Dari 115 juta orang berstatus pekerja, 85 juta wajib pajak (WP) yang belum terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan. Bahkan, kalau dikurangi mereka yang pendapatannya di bawah pendapatan tidak kena pajak sekalipun, angkanya masih sangat jauh.

Laporan Pajak

Materialnya potensi penerimaan yang belum tergarap niscaya lebih besar lagi jika mempertimbangkan keakuratan laporan pajaknya. Dari pekerja yang memiliki NPWP, berapa yang melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Dari mereka yang melaporkan SPT, berapa yang mengisi dan membayar pajak dengan benar.

Dengan suboptimalitas tersebut, tidak mengherankan bila struktur penerimaan pajak sangat rapuh. Tahun ini, misalnya, WP besar diberi 'jatah' menyumbang sebesar 498 triliun rupiah. Jumlah tersebut akan mengontribusi 31,57 persen dari pendapatan pajak dengan kenaikan 19 persen dari realisasi 2018.

Kajian dari data mikro mengonfirmasi besaran kontribusi WP besar terhadap total penerimaan PPh. Perimbangan antara 24 WP Badan dengan 6 WP Orang Pribadi yang memperoleh penghargaan sebagai penyumbang pajak terbesar 2018 dengan sendirinya menjelaskan ketergantungan yang besar pada PPh Badan.

Superioritas PPh Badan terhadap PPh Orang Pribadi sangat berisiko. Kondisi keuangan negara memiliki ketergantungan yang tinggi pada para WP Besar. Padahal, PPh Badan rentan terhadap gejolak perekonomian. Turunnya perolehan PPh Badan saat harga sejumlah komoditas andalan anjlok beberapa waktu lalu menjadi bukti sah.

Lebih ironisnya lagi, praktik terbaik (best practice) secara internasional menyarankan perolehan PPh Orang Pribadi lebih dominan daripada PPh Badan. Bukti empiris menunjukkan, negara dengan perolehan PPh Orang Pribadi yang kuat juga sangat tangguh dalam mengimplementasikan kebijakan fiskal.

Dengan alur logika tadi, pengembangan basis data perpajakan menjadi titik kritikal. Dari pertukaran informasi keuangan untuk keperluan pajak dan amnesti pajak, otoritas pajak mendapat data nasabah WNI senilai 1.300 triliun rupiah. Artinya, pascaprogram amnesti pajak masih banyak harta WNI di luar negeri yang perlu dilacak.

Data tersebut jadi acuan tolok ukur tingkat kepatuhan WP pemilik rekening apakah sudah sesuai dengan jumlah harta atau aset yang disampaikan dalam SPT. Sebab salah satu faktor pendorong kepatuhan WP di negara yang menganut self assessment adalah ketersediaan data yang valid.

Maka, otoritas pajak perlu memverifikasi SPT atas dasar profil data keuangan WP masing-masing. Jika ada harta belum dilaporkan, WP digiring untuk membetulkan SPT dan menyelesaikan segala konsekuensi finansialnya. Dengan cara ini, perolehan PPh orang pribadi niscaya akan meningkat.

Alhasil, komposisi PPh Badan dan PPh Orang Pribadi menjadi tantangan terbesar reformasi perpajakan. Kegagalan menanggulangi tiga ironi dalam struktur penerimaan perpajakan berisiko lebih besar lagi. Kekurangan penerimaan terus mendera, pendapatan pemerintah tidak berkelanjutan, defisit bakal melebar, dan utang selalu menjadi bantalannya. Penulis Doktor Ilmu Ekonomi Alumnus PPs-UGM Yogyakarta

Komentar

Komentar
()

Top