Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus
Penanaman Modal I Pemerintah Masih Setengah Hati Beralih ke Energi Hijau

Investor Pantau Keseriusan RI Bertransisi ke Ekonomi Hijau

Foto : ISTIMEWA

Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tata Mustasya, menegaskan, pemerintah Indonesia masih setengah hati untuk mengakselerasi transisi ke ekonomi hijau. Padahal, lembaga-lembaga global sudah menyiapkan bantuan.

A   A   A   Pengaturan Font

» Kebijakan masih kontraproduktif seperti pemberian insentif royalti nol persen untuk ekspor batu bara.

» Insentif untuk sektor hijau, seperti energi matahari, juga belum jelas bahkan untuk kasus panel surya cenderung dipersulit.

JAKARTA - Pemerintah Indonesia dalam berbagai kesempatan menagih komitmen negara-negara maju untuk membantu mempercepat pengurangan emisi karbon. Komitmen dari negara-negara maju tersebut sebenarnya ada, tetapi sulit terealisasi karena pemerintah sendiri dinilai belum konsisten dan setengah hati menjalankan program tersebut.

Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tata Mustasya, menegaskan, pemerintah Indonesia masih setengah hati untuk mengakselerasi transisi ke ekonomi hijau. Padahal, lembaga-lembaga global sudah menyiapkan bantuan.

"Masalahnya di pemerintah sendiri," ujar Tata.

Menurut Tata, pernyataan resmi untuk melakukan transisi hijau sudah sering disampaikan oleh Presiden dan menteri- menteri terkait. Bahkan dalam dalam pidato kenegaraan Presiden pada 16 Agustus lalu, juga menyampaikan bahwa ekonomi hijau dan energi bersih merupakan satu dari lima agenda besar menuju Indonesia Maju.

"Tetapi, pilihan kebijakan-kebijakan yang diputuskan masih sangat kontradiktif," kata Tata, di Jakarta, Jumat (9/9).

Pemerintah, misalnya, masih memberikan beragam insentif untuk batu bara seperti royalti nol persen dan masuknya batu bara sebagai energi baru di Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan sehingga akan mendapat beragam insentif.

Menurut Tata, langkah-langkah ini memberi angin segar pada energi kotor untuk terus berkembang di tengah upaya global mendorong dekarbonisasi atau net zero emission (NZE) pada tahun 2060.

Masalah lainnya, lanjut Tata, insentif untuk sektor hijau, seperti energi matahari, juga belum jelas bahkan untuk kasus panel surya cenderung dipersulit. "Penerapan pajak karbon juga sudah ditunda dua kali dan belum jelas kapan akan diterapkan," tukasnya. Padahal tarif karbon itu sudah sangat rendah dibanding yang dipatok world bank.

Kalau pemerintah serius, kata Tata, mereka harus konsisten dengan tiga hal. Pertama, disinsentif untuk sektor kotor, seperti batu bara. Kedua, insentif untuk sektor hijau. Untuk dua hal ini, pemerintah harus konsisten dan yang ketiga, meminimalisasi dampak transisi untuk kelompok berpendapatan rendah.

Sebelumnya, Bank Investasi Eropa atau European Investment Bank (EIB) siap menginvestasikan dana sebesar satu miliar euro (sekitar 15 triliun rupiah) ke Indonesia untuk mendukung pembangunan proyek hijau dan berkelanjutan.

Wakil Presiden EIB, Kris Peeters, menyatakan pihaknya ingin menjadi mitra yang dapat diandalkan bagi Indonesia dan Asia Tenggara dalam memastikan negara dan kawasan ini berkembang dengan cara yang lebih hijau dan berkelanjutan.

"Di Indonesia, kami sendiri siap untuk berinvestasi hingga satu miliar euro dalam proyek ini (hijau dan berkelanjutan) setiap tahun," katanya dalam Official Opening of the EIB Regional Representation for South-East Asia and the Pacific, di Jakarta, Jumat (9/9) seperti dikutip dari Antara.

Peeters menuturkan langkah tersebut diambil karena EIB ingin membantu negara-negara mitra Uni Eropa agar terhindar dari perubahan sekaligus memperkuat kemandirian dalam mengembangkan proyek hijau.

EIB, jelasnya, tidak akan bekerja sendirian dalam mendorong negara mitra, tetapi juga sekaligus mengajak sektor publik dan swasta untuk bermitra dalam pembangunan hijau dan berkelanjutan.

EIB pun mengambil langkah membuka Kantor Perwakilan Regional untuk Asia Tenggara dan Pasifik di Jakarta dalam rangka memastikan pinjaman pembangunan mampu mempercepat pertumbuhan.

Lebih Sejahtera

Lembaga itu melalui kantor perwakilannya di Jakarta juga ingin memastikan bahwa pinjaman yang diberikan mampu membuat daerah perdesaan lebih sejahtera sekaligus mengubah kota menjadi pusat inovasi dan memperkuat ekonomi.

Sejauh ini, EIB sangat fokus pada proyek berkelanjutan di Asia Tenggara dengan nilai 2,6 miliar euro yang digunakan untuk pendanaan iklim, transportasi perkotaan, perawatan kesehatan, hingga pengembangan energi yang aman.

"EIB berambisi memperkuat posisi Uni Eropa sebagai mitra terpercaya bagi Indonesia dan Asia Tenggara dalam menangani beberapa masalah paling mendesak saat ini," kata Deputy General Manager EIB Global Markus Berndt.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menuturkan fokus EIB pada pengembangan proyek hijau dan berkelanjutan ini sangat sejalan dengan prioritas Indonesia.

Indonesia, jelasnya, sedang berupaya mewujudkan target Nationally Determined Contribution (NDC) yang membutuhkan dana lebih dari 280 miliar dollar AS.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top