Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Sektor Pertanian I Kebergantungan terhadap Impor Pangan Kian Besar

Intervensi Harga Rugikan Petani

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Pengendalian harga pokok pangan, termasuk dengan penetapan HET, tanpa memperhatikan aspek komersial sama saja membunuh profesi petani.

YOGYAKARTA - Kebijakan pemerintah di sektor pangan lebih mementingkan konsumen dan sangat merugikan sektor hulu, terutama petani. Program pangan murah dan ketetapan harga eceran tertinggi (HET) membuat hasil pendapatan petani dianggap tak lagi menguntungkan.

Kebijakan pemerintah tersebut dinilai pilih kasih. Sebagai perbandingan, pemerintah tak pernah mengintervensi harga sawit. Tak hanya itu, akses petani komoditas pangan untuk mengelola lahan cukup terbatas atau bahkan berkurang seiring maraknya alih fungsi lahan pertanian untuk sektor perumahan maupun infrastruktur perhubungan, termasuk jalan tol.

Sebaliknya, pemerintah justru memberikan akses pada pengusaha untuk mengelola hutan untuk perkebunan kelapa sawit.

Karena itu, sangat wajar apabila sektor pertanian pangan tak lagi dianggap menarik bagi kalangan generasi muda lantaran kurang menguntungkan. Alhasil, jumlah petani terus turun dari waktu ke waktu.

Kondisi tersebut memicu ketimpangan pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Jumlah produksi tak mampu mencukup kebutuhan pangan nasional. Akibatnya, kebergantungan terhadap impor pangan sangat besar.

Managing Director of The Nielsen Company Indonesia, Agus Nurudin, mengungkapkan penduduk Indonesia saat ini mencapai 260 juta jiwa sehingga kebutuhan pangan terus meningkat. Dia menyebutkan, setiap tahun diperlukan minimal 33 juta ton beras, 16 juta ton jagung, 2,2 juta ton, 2,8 juta ton gula, dan 484 ribu ton daging sapi untuk memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Sebagian komoditas tersebut mayoritas masih diimpor.

Soal pasokan pangan beras, ungkapnya, kebergatungan dengan impor semakin besar karena produksi nasional tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumen. Dia menambahkan penurunan produksi disebabkan profesi petani makin ditinggalkan karena dianggap tidak menguntungkan.

Menurutnya, apabila masyarakat masih mengharapkan harga pangan yang murah sama saja dengan mematikan profesi petani. "Jika kita mengharapkan pangan murah sama dengan mematikan satu hingga dua petani," kata Agus dalam seminar bertajuk Teknologi Pertanian Menyongsong Industri 4,0, di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Selasa (15/8).

Tak Punya Komitmen

Berdasarkan riset Lembaga Nielsen Company, kata Agus, pertumbuhan pertanian Indonesia terus di bawah pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Penurunan tersebut disebabkan pemerintah dari setiap periode kepemerintahan tidak memiliki komitmen kuat pada sektor pertanian.
"Nampaknya kita tidak punya komitmen, kepemilikan lahan untuk petani perlu dikelola dengan baik," katanya.

Untuk itu, dia mengusulkan agar setiap periode kepemerintahan tidak lagi mengintervensi pemain beras meskipun dengan alasan mengatur harga ekonomis. Baginya, pengendalian harga pokok pangan tanpa memperhatikan aspek komersial sama saja membunuh profesi petani.

"Apakah (harga) sawit diintervensi pemerintah? Kan tidak. Jika tetap diintervensi maka tidak akan ada yang yang mau (jadi petani sawit)," katanya dalam seminar yang diselenggarakan Fakultas Teknologi Pertanian UGM.

Pada kesempatan sama, Ketua Komisi Teknis Pangan dan Pertanian Dewan Riset Nasional, Haryono, mengatakan produk makanan dan minuman dari sektor pertanian menjadi kebutuhan yang terus meningkat. Namun, produk yang layak untuk dikonsumsi tersebut harus melalui tahapan riset dan inovasi berkualitas.

Sementara itu, Kepala Pusat Inovasi dan Kajian Akademik, Hatma Suryatmaja, mengakui perkembangan dunia teknologi informasi dan komunikasi sudah berdampak pada perubahan pemanfaatan teknologi dalam proses pendidikan.

YK/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top